Konflik bersenjata antara negara Rusia dan Ukraina masih berlangsung hingga saat ini. Perseteruan dan ketegangan di antara kedua negara juga memiliki latar belakang semasa perang dingin, yang dimana dulunya Rusia dan Ukraina merupakan satu kesatuan dari negara Uni Soviet, yang bertentangan dengan negara-negara barat khususnya Amerika Serikat. Setelah runtuhnya negara Uni Soviet, banyak pecahan dari bagian negaranya yang pada akhirnya memecahkan diri dan mengumumkan kemerdekaan daerahnya masing-masing. Hal ini membuat negara Rusia yang pada saat ini sebagai "pewaris besar" dari Uni Soviet. Pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa bagian negara yang merdeka dan berdaulat juga membuat Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa, dikarenakan pengaruh dari Blok Barat menjadi lebih besar dibandingkan pengaruh dari Blok Timur.
Ukraina sebagai salah satu negara pecahan dari Uni Soviet memiliki hubungan yang erat dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization), yang di masa perang dingin adalah sebuah organisasi atau aliansi militer yang memiliki tujuan untuk menekan pengaruh ideologi komunis dari Uni Soviet. Kerja sama yang dilakukan oleh NATO dan Ukraina berlangsung dengan baik dan saling menguntungkan atau menghasilkan timbal balik, walaupun Ukraina belum menjadi anggota dari aliansi tersebut. Dalam hal ini, Ukraina juga memiliki urgensi yang besar untuk dapat bergabung dengan NATO, apalagi setelah wilayah Krimea diinvasi oleh Rusia pada tahun 2014. NATO juga menjadi salah satu organisasi yang membantu Ukraina dalam pemasokan senjata militer, seiring berkembangnya konflik dengan Rusia.
Sebaliknya, di dalam perspektif Rusia, keinginan Ukraina untuk bergabung ke dalam aliansi NATO merupakan sebuah ancaman bagi keamanan wilayah negara. Penyebarluasan anggota aliansi NATO ke negara-negara pecahan Uni Soviet, dikhawatirkan akan membentuk dan membangun kekuatan militer, yang akan berhadapan langsung dan menjadi unit terdepan NATO untuk melawan Rusia. Dengan demikian, perbatasan di negara Rusia akan lebih rentan dan mudah untuk di serang oleh negara aliansi NATO. Akhirnya pada tahun 2022, tepatnya pada tanggal 24 Februari, Rusia melancarkan operasi militernya kepada Ukraina. Invasi Rusia terhadap Ukraina ini menjadi puncak atau eskalasi dari konflik pada tahun 2014.
Invasi yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina mendapat banyak kecaman dari berbagai masyarakat, organisasi, dan negara. Rusia juga menerima banyak sanksi atas tindakan invasi yang telah dilakukan terhadap Ukraina. Berdasarkan hasil suara dari keanggotaan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), Rusia akhirnya diputuskan untuk dikeluarkan dari Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) karena perbuatannya terhadap Ukraina. Mayoritas suara dari keanggotaan PBB menilai bahwa suatu negara yang melakukan tindakan pelanggaraan HAM tidak pantas untuk terlibat atau dilibatkan dalam perkara HAM.
Adapun sanksi-sanksi lain yang dilayangkan kepada Rusia oleh sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan organisasi seperti Uni Eropa berfokus pada sektor ekonomi. Hal ini dimaksudkan agar Rusia tidak lagi memiliki pasokan materi atau barang yang memadai untuk melakukan invasi ke Ukraina, dan pada akhirnya dapat menyerah dikarenakan ekonomi negaranya yang menyusut. Contoh sanksi yang dimaksud adalah pemblokiran beberapa bank Rusia, pembekuan aset pada bank-bank besar, membatasi dan melarang ekspor impor barang-barang strategis khususnya pada bidang militer dan teknologi militer, dan sebagainya.
Disaat negara-negara Barat melayangkan sanksinya yang bertubi-tubi kepada Rusia, Negara Tirai Bambu (Cina) justru melakukan hal yang sebaliknya. Dari awal konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina Negara Cina memang mengambil posisi netral dan memilih untuk tidak memihak kepada salah satunya. Di tengah gempuran sanksi yang diterima, Rusia menjalin kerja sama yang baik sebagai mitra dagang dengan Negara Tirai Bambu tersebut. Tercatat bahwa perdagangan antara Rusia dan Cina pada tahun 2022, melonjak tinggi dengan persentase peningkatan sebanyak 30% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian, Cina menjadi mitra dagang yang sangat penting bagi Rusia di tengah merosotnya hubungan perdagangan dan kerja sama dengan negara-negara Barat.
Melihat hubungan yang terjalin dengan baik antara Negara Rusia dengan Cina tersebut, Amerika Serikat mengkhawatirkan akan adanya kemungkinan pertentangan yang direncanakan oleh kedua negara, untuk melawan persatuan Barat. Amerika Serikat memandang bahwa Cina membantu Rusia dalam hal ekonomi serta pemasokan senjata dan teknologi militer yang akan digunakan untuk melanjutkan invasi terhadap Ukraina. Namun, Negara Cina menentang pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah memberikan bantuan senjata kepada Rusia dan hanya menjalankan hubungan bilateral yang baik di dalam sektor ekonomi seperti pada umumnya.
Pada akhirnya Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan Cina yang diduga mendukung persenjataan Rusia. Negara Cina dan khususnya Rusia yang dari awal sudah dijatuhkan oleh sanksi-sanksi negara Barat juga tidak hanya tinggal diam. Kedua negara tersebut juga memutuskan untuk membalas dendam dengan memberlakukan kebijakan seperti mengurangi dan memutus pasokan gas kepada negara-negara yang memberikan sanksi kepada mereka.
Dengan demikian, konflik Ukraina yang seharusnya difokuskan pada keselamatan dan kemanusiaan masyarakatnya, ditutupi dengan bayang-bayang akan terulangnya perang antara Barat dan Timur. Persaingan dalam memperebutkan gelar negara adidaya atau adikuasa, dilakukan secara halus melalui kerja sama ekonomi dan aliansi antarnegara. Mengulik peristiwa sejarah lama antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet, menunjukkan adanya pengulangan yang terjadi pada masa kini dengan taktik yang berbeda. Dalam mempertahankan pengaruhnya kepada negara-negara pecahan Uni Soviet, Rusia memakai cara yang tidak dapat diterima oleh kebanyakan masyarakatnya.
Sebaliknya, Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan, akan lebih mudah untuk membuat negara lain bergabung di dalam aliansi serta "mengintervensi" keputusan yang diambil oleh organisasi internasional karena banyaknya aliansi yang dimiliki. Cina yang muncul sebagai negara pesaing ekonomi Amerika Serikat, juga memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bergabung bersama Rusia, dikarenakan ideologi serta lawan yang sama. Pada akhirnya, konflik Ukraina tidak akan bisa selesai dengan mudah karena disetiap langkah kebijakan yang diambil dari negara lain maupun organisasi, akan terhalang oleh urgensi kepentingan masing-masing kelompok atau negara.