Mohon tunggu...
Theresa Kristalis Chandra
Theresa Kristalis Chandra Mohon Tunggu... Lainnya - Ilmu Komunikasi 2020

UAJY

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengulik Hibriditas Budaya Indonesia dan Korea dalam Perspektif Kajian Budaya

6 Maret 2022   14:39 Diperbarui: 6 Maret 2022   14:43 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korean wave atau Hallyu merujuk pada popularitas produk budaya Korea, seperti dalam bentuk drama, film, dan juga musik (K-pop). Korean wave sendiri menjadi salah satu aspek globalisasi budaya karena berhasil diterima di berbagai negara dan juga berhasil mendominasi pasar global. Korean wave mengemas budaya pop Barat bercampur dengan budaya Asia yang dikemas dengan modern.

Yu Lim Lee dalam risetnya berjudul "Cross-national Study on the Perception of the Korean Wave and Cultural Hybridity in Indonesia and Malaysia Using Discourse on Social Media" menunjukkan bahwa pengemasan yang menarik dari budaya Korea telah berhasil mempengaruhi dan memperkaya budaya negara-negara penerima (Yu Lim Lee, et al, 2020).

 Budaya Korea seakan-akan menjadi terintegrasi ke dalam kehidupan budaya negara penerima. Misalnya saja di Indonesia sendiri, industri musik mulai memproduksi boyband dan girlband yang meniru K-pop, dan melahirkan budaya baru yaitu I-pop. 

Selain bidang musik, pengaruh budaya Korea juga telah merambah ke fashion, hingga makanan. Hal ini menunjukkan adanya reproduksi budaya antara budaya Korea dan Indonesia.

Cultural Studies

Cultural studies atau kajian budaya sendiri lahir ditengah semangat Neo-Marxisme. Cultural studies berupaya sebagai perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni budaya, yang dimana pada saat itu didominasi oleh budaya elitis yang adalah orang-orang dengan pendidikan tinggi. 

Mereka seringkali menganggap budaya mereka adalah budaya adihulung, sedangkan budaya lain dianggap sebagai budaya jelata yang tidak serata bahkan lebih rendah, sehingga berambisi untuk membudayakan dan menggantikan budaya pihak lain.

Berasal dari Centre for Contemporary Studies (CCCS) di Universitas Birmingham, para pendiri cultural studies adalah orang-orang dengan latar pendidikan sastra. 

Cultural studies atau kajian budaya ini tidak bermaksud untuk menyeragamkan dua budaya, tetapi justru ingin memandang budaya lain sebagai pembentukan konsep budayanya sendiri yang harus dihormati dengan segala keunikan yang dipunya. 

Cultural studies memandang bahwa perbedaan harus dipahami bukan diseragamkan, dan beranggapan bahwa semua budaya berhak memiliki kesempatan yang sama untuk menetap di dunia. (Astuti, 2003: 56)

Jika melihat masuknya Korean wave dan melihatnya dari segi kajian budaya, dapat terlihat bahwa masyarakat Indonesia mempunyai sifat terbuka akan masuknya budaya-budaya baru. 

Dengan menerima budaya luar, menggambarkan bahwa orang Indonesia banyak menerima reproduksi kultural dimana dua kebudayaan saling bertemu dan membentuk budaya baru. 

Hal ini juga selaras dengan teori cultural studies yang tidak bermaksud untuk menyeragamkan dua budaya, tetapi justru ingin memandang budaya lain sebagai pembentukan konsep budayanya sendiri yang harus dihormati dengan segala keunikan yang dipunya (Astuti, 2003: 56). 

Negara Indonesia menerima dan mengadaptasi budaya Korea dengan budaya Indonesia sendiri, sehingga menciptakan budaya baru itu sendiri, contohnya I-pop, dan lainnya.

Konsumen Indonesia secara positif menerima drama Korea, K-pop, fashion, dan juga makanan Korea karena mereka mengakui adanya banyak kesamaan antara Indonesia dan Korea. 

Terdapat tiga faktor yang mendorong hibriditas budaya yaitu, identitas Asia, kebijakan yang menekankan kesatuan dan keragaman etnis, dan xenosentrisme konsumen lokal. 

Namun, seiring dengan meningkatnya kegemaran terhadap Korea, timbul pula emosi negatif karena munculnya budaya sepihak dan tidak seimbang sehingga menimbulkan sentimen anti-Korea. Hal ini juga didorong dengan dua faktor penghambat hibriditas budaya yakni konservatif agama dan diskriminasi antar kelompok etnis.

Keterbukaan akan budaya asing memang diperlukan agar bisa mempelajari hal-hal positif baru dan untuk mengembangkan budaya sendiri. Namun, perlu juga adanya kesadaran akan batasan-batasan budaya baru yang harus diterima. 

Jangan sampai kita terlalu terjerumus akan budaya luar dan lahir sifat xenosentris yang dapat membahayakan budaya bangsa kita sendiri. Adopsi budaya asing harus disikapi secara kritis agar tidak menjadi plagiarisme atau imperialisme budaya. 

Oleh karena itu, perlu diadakan acara pertukaran budaya interaktif antar negara. Sehingga meredakan adanya anggapan munculnya budaya sepihak dan tidak seimbang. Oleh karena itu dapatlah tercapai citra positif dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak negara yang bersangkutan.

Daftar Pustaka: 

Astuti, S.I. (2003). Cultural studies dalam studi komunikasi: Sebuah pengantar. Mediator, 4(1), 55-168.

Lee, Y. L., Jung, M., Nathan, R. J., & Chung, J. E. (2020). Cross-national study on the perception of the Korean wave and cultural hybridity in Indonesia and Malaysia using discourse on social media. Sustainability, 12(15), 6072.

KIM, S. J., & KIM, E. J. (2016). Cultural conflicts and characteristics of anti-Korean Wave in Southeast Asia: Case studies of Indonesia and Vietnam. The Southeast Asian Review, 26(3), 1-50.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun