Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa chaos menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan atau kebetulun, yaitu; Gerakan acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu.[1] Ada berbagai macam ketidakaturan (chaos) yang dialami oleh manusia di dunia, salah satunya ialah penderitaan.Â
 Penderitaan berasal dari kata dasar derita yang berarti "sesuatu yang menyusahakan yang ditanggung dalam hati (seperti kesengsaraan, penyakit dan lain- lain), sedangkan penderitaan adalah "keadaan yang menyedihkan yang harus ditanggung.[2] Penderitaan disini merupakan suatu kenyataan bukan hanya suatu khayalan semata. Artinya suatu yang berjalan bersama (beriringan) dengan manusia. Profesor R. Ganzevoort mengatakan orang menderita bukan karena fakta penderitaan yang dialami, tetapi menderita karena menghadapi fakta penderitaan tersebut.[3] Setiap dari manusia diharapkan dengan kemampuan yang istimewa yang diberikan oleh Sang Pencipta dapat menemukan jalan keluar untuk melewatinya atau menghadapinya.Â
 Penderitaan manusia yang diakibatkan oleh penyakit yang timbul sebagai akibat dari gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat (merokok, minum- minuman keras, narkoba, workaholic, malas berolahraga dan sebagainya), penderitaan yang diakibatkan oleh kecelakaan karena human error atau pelanggaran lalu lintas, penderitaan yang diakibatkan oleh bencana alam karena ketidakbijaksanaan manusia dalam pengelolaan dan pelestarian alam (sampah yang menyebabkan banjir, pembakaran hutan yang menyebabkan kabut asap, limbah pabrik yang menyebabkan pencemaran udara dan sungai, penebangan hutan yang menyebabkan tanah longsor) dan sebagainya.[4] Dengan kata lain, tanpa disadari penderitaan (chaos) yang dialami oleh manusia diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri karena tidak mempergunakan kemampuan dan akal budi dengan baik. Manusia adalah sumber ketidakaturan (chaos) itu sendiri.
 Ketika mengalami ketidakaturan (chaos) dalam hidup, mendekatkan diri kepada Yang Transenden melalui doa- doa pribadi dan komunal itu dianggap baik. Seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche bahwa pada dasarnya manusia merupakan binatang pemuja dimana manusia memang sadar akan kelemahannya dan membutuhkan suatu pegangan. Memiliki kepercayaan yang penuh akan Yang Transenden itu memang menjadi suatu yang harus bagi manusia. Memiliki suatu pegangan merupakan bagian dari kebebasan manusia itu sendiri. Manusia bebas memilih apa yang ia butuhkan untuk menjalani hidup di dunia. Dalam konsep kebebasan, Sartre memebedakan antara berada pada dirinya sendiri (entre ein soi) dan berada bagi dirinya sendiri (entre pour soi). Manusia itu sang entre pour soi. Ia tidak mempunyai hakikat yang pasti, terlempar dalam eksistensi. Eksistensinya mendahului esensinya. Ia bebas, tidak terdeterminasi. Ia memproyeksikan diri melalui kebebasan karena lewat kebebasan itu sendiri ia menjadi. Seperti yang diungkapkan oleh C. S. Lewis bahwa kebebasan yang Allah anugerahkan kepada manusia adalah kebebasan yang sejati dan tidak bersifat kompatibilistik, sebagaimana pernyataanya: "the freedom of creatures must mean freedom to choose and choice implies the existence of things to choose between.[5] Kehendak bebas ini ialah kebebasan memilih yang benar dan yang salah tidak dibatasi oleh apapun.
 Akan tetapi berharap sepenuhnya akan bantuan Yang Transenden memperlihatkan kita sebagai manusia yang tidak mampu mempergunakan keistimewaan sebagai ciptaan. Apa gunanya akal budi dan pengetahuan yang kita miliki? Bisa jadi, keberadaan kektidakaturan (Chaos) merupakan sebuah tanda bagi manusia untuk menjelaskan intelektualitas manusia itu sendiri.
 Manusia merupakan makhluk berpikir (Homo sapiens) dan makhluk yang dapat dididik (Homo educandum).[6] Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling unik karena memiliki kemampuan akal budi dan eksistensi. Hal inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya. Eksistensi manusia dimulai dari masa lalu kemudian beranjak ke masa depan untuk mewujudkan tujuan hidup. Dalam proses itu, manusia akan diketemukan dengan berbagai rintangan dan permasalahan. Rintangan dan permasalahan tersebut membantu manusia untuk menemukan makna hidup. Proses ini disebut sebagai sebuah tahap untuk lebih memanusiakan manusia. Manusia adalah makhluk yang dinamis di mana manusia terus mengalami perubahan sesuai dengan kondisi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Manusia terus berubah seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens) diharapkan harus lebih menempatkan diri untuk terus berubah dan bertumbuh menjadi lebih baik. Hal tersebut sejalan dengan teori Immanual Kant bahwa untuk menjadi manusia seutuhnya, ia harus mampu untuk dididik dan mendidik dirinya sendiri.[7]
 Jadi, Janji Akan "Keteraturan" (Order) Dan Tujuan (Purpose) itu dibutuhkan keseimbangan antara manusia dan Yang Transenden itu sendiri. Apabila, manusia dapat menyeimbangkan keduanya maka janji akan keteraturan (order) dan tujuan (purpose) akan tercapai. Diluar ajaran agama tentang keselamatan. Misalnya, agar tidak mengalami penderitaan akibat luka jatuh motor, dikurangi kecepatan kendaraan sewaktu di jalanan yang ramai, taat aturan lalu lintas dengan memakai helm dan mengikuti rambu lalu lintas. Agar tidak terjadi bencana longsor, usahakan untuk tidak menebang hutan sembarangan. Agar tidak terkena penderitaan akibat sakit kanker, usahakan untuk berhenti merokok atau minimal mengurangi konsumsi rokok. Masih banyak contoh lainnya. Akan tetapi, manusia harus ingat akan keterbatasan dalam diri.
 Dibutuhkan kesadaran dalam diri bahwa, saya merupakan seorang manusia yang mempunyai keterbatasan. Karena memiliki keterbatasan ini maka saya butuh support system yakni Yang Transenden itu sendiri.
Â
 Daftar Pustaka
 Siska, Yulia. (2015). Manusia Dan Sejarah: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Garudhawaca.