Teori chaos pertama kali dicetuskan oleh seorang meteorologis bernama Edward Lorenz pada tahun 1961.[1] Teori chaos mencoba menemukan bentuk keseragaman dari berbagai data yang kelihatannya acak. Lorenz secara tidak sengaja menemukan teori chaos ketika ingin mencari penyebab dari mengapa cuaca tidak bisa diramalkan. Chaos menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan atau kebetulun, yaitu; Gerakan acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu.[2] Alam semesta yang bersifat dinamis ini, sepertinya bekerja melalui sistem linear, tetapi tidak sedikit juga yang bekerja bukan secara linear dan tidak dipahami secara secara sistem linear, seperti, ombak di pantai, garis pantai, awan, pohon dan bahkan manusia itu sendiri. Manusia bisa menjadi sumber chaos. Sekalipun manusia merupakan ciptaan yang paling istimewah dari ciptaan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia memiliki akal budi dan perasaan. Tetapi tidak jarang juga manusa berperilaku seperti hewan dan bahkan seperti iblis sekalipun karena terkadang manusia tidak bisa mengendalikan akal dan pikirannya maka dari itu diciptakanlah agama- agama sebagai sebuah pedoman hidup oleh Tuhan.[3] Namun, dalam perjalanan manusia menjadikan agama sebagai sumber chaos.
Dalam konteks di Indonesia, seorang kristiani seringkali juga mengalami chaos yang berupa ketidakadilan atau dengan kata lain adanya perlakuan- perlakuan yang berbeda- beda dengan agama yang lain. Selain itu, sering terjadi pembakaran Gereja, penutupan gereja dengan berbagai alasan, bom bunuh diri di gereja yang mengakibatkan banyak penderitaan dan kerugian.[4] Selain itu ada juga stigma di lingkungan masyarakat luas bahwa orang kristen sulit menduduki jabatan yang strategis dalam pemerintahan, hal ini disebabkan karena beriman kepada Kristus. Mengalami kondisi seperti ini secara tidak langsung membuat orang kristiani menderita. Penderitaan yang dialami ini menjadi salah satu chaos yang harus dilewati dalam peziarahan iman mereka.
Nietzsche, dalam Die Gaburt der Tragodie menjelaskan bahwa orang- orang Yunani kuno telah memahami terlebih dahulu bahwa hidup ini sangatlah berbahaya, mengerikan, sulit dan tidak terperikan. Akan tetapi meskipun yang diketahui demikian, mereka tidak pernah lari atau bahkan menyerah dari kenyataan dunia ini. Mereka mampu mengatakan “Ya” terhadap kenyataan dunia. “Ya” disini artinya mereka siap menghadapi dan menjalani hidup. Hal ini dapat dilihat dari dalam estetika mereka. Menurut Nietzsche, ada dua macam mentalitas dalam estetika Yunani Kuno yakni “mentalitas Dionysian” dan lawanya ialah “mentalitas Apollonian”.
Dionysos merupakan dewa anggur dan kemabukan bagi orang Yunani pada saat itu. Namun bagi Nietzsche, dia menjadi lambang pengakuan terhadap kehidupan sekarang dan di sini (Diesseitigkeit) yang selalu mengalir.[5] Dia merupakan dewa yang dapat dijadikan simbol untuk mendobrak segala batas dan kekekangan dalam kehidupan. Dalam ritus misteri yang memuja dewa ini, para pemujanya mabuk, tetapi kemabukan itu justru menyatukan mereka dengan kehidupan, dengan “ketunggalan Primordial” yang bersifat estetis.[6] Dalam ekstasis, segala perbedaan dan individualitas tidak kelihatan dan menjadi kabur, hal ini dikarenakan laki- laki dan perempuan yang memuja ini dilebur menjadi satu dalam “ketunggalan primordial”. Jika demikian, mentalitas Dionysian adalah mentalitas kebudayaan Yunani yang cendrung melampaui segala aturan dan norma, mentalitas yang bebas mengikuti dorongan- dorongan hidup tanpa kenal batas.[7]
Sedangkan, Apollo merupakan dewa matahari dan ilmu kedokteraan, sering dikenal sebagai putera Jupiter. Namun bagi Nietzsche, dia menjadi lambang pencerahan, lambang keugaharian dan pengendalian diri.[8] Sama seperti dewa Dionysos, Apollo juga menggambarkan asas individuasi. Mentalitas Apollonian, jika demikian adalah mentalitas kebudayaan Yunani Kuno yang cenderung pada keseimbangan, tertib, cinta pada bentuk- bentuk dan pengendalian diri.[9] Mentalitas ini dapat dilihat dalam tata cara yang ditetapkan diantara dewa- dewi Olimpus dalam arsitektur dan arca- arca. Bagi masyarakat Yunani Kuno mentalitas ini berlaku untuk mengendalikan mentalitas Dionysian.
Jadi, dari mentalitas Dionysian dan mentalitas Apollonian yang dikemukakan oleh Nietzsche kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa ketika menemukan chaos dalam peziarahan iman, disarankan untuk berani mengatakan “ya” untuk menghadapinya. Bukan lari dan hilang (menyerah) dari kenyataan dunia ini. Dalam menghadapinya sebagai seorang beriman kita butuh support system yang dapat membantu yakni, Yang Transeden itu sendiri. Yang dapat ditemukan dalam agama yang dianuti (dipercayai/diyakini). Tujuan manusia memilih agama adalah sebagai tujuan dalam kehidupan apabila manusia tidak mempunyai agama maka hidupnya akan serasa bebas dan juga kebanyakan dari mereka yang tidak beragama berperilaku seperti hewan karena tidak memiliki pedoman dalam kehidupan dan juga arti dalam kehidupannya maka dari itu sangatlah penting manusia memiliki agama, tujuannya adalah agar dia mengerti sebuah kehidupan di dunia ini.[10] Disisi yang lain, alasan dibentuknya agama- agama karena ketika mengalami chaos, manusia berusaha menghubungkan diri sebagai seorang yang mengalami bersama dengan Yang Transenden.