Kapan? Setiap orang punya batasan masing-masing pada titik mana harus beristirahat. Melepaskan kesempatan yang telah sekian waktu ditunggu bukan perkara sepele. Saya, contohnya. Sepekan yang lalu, saya mengenal sebuah media online tempat para penulis bisa menyetorkan ide-ide tulisannya. Setiap akhir pekan, akan dibuka tawaran penyampaian opini dengan tema yang telah ditentukan. Biasanya seputar berita yang sedang "in" saat itu.
Pekan yang lalu saya terlambat menyampaikan naskah opini sebab baru terinfo setelah batas waktu penyampaian berakhir. Pekan depan saya harus bisa ikut serta.
Hari yang dinanti pun tiba. Tema berita telah disampaikan. Seperti mendengar pelatuk pistol pertanda aba-aba pertandingan di mulai, saya yang sedari lama telah mempersiapkan kuda-kuda, bergegas mengayuhkan kaki. Tetapi baru satu dua langkah tetiba otak memerintahkan kaki untuk Berhenti mendadak. Suara sol sepatu berdecit. Saya nyaris kehilangan keseimbangan sebab tindakan mendadak yang diambil sang kaki. Di kanan kiri saya melihat pelari lain kian asyik mengayunkan langkah, sementara saya roboh, terduduk lunglai. Pasrah.
Impian saya harus kandas kali ini. Tema yang disampaikan ternyata sebuah pamali. Lalu saya memang tak cukup punya nyali untuk berkoar-koar kali ini. Begitulah. Bahkan seorang penulis pun punya batasan melangkah. Tak setiap tantangan harus diambil dengan gagah. Pun tentang kali ini saya akui merupakan sebuah kelemahan yang tak lantas membuat saya menjadi pecundang. Hanya merupakan bentuk penghargaan terhadap amanah yang selama ini diemban. Akan selalu ada gunung yang tak bisa didaki.
Pernah pula suatu kali, sebuah lomba menulis ditawarkan oleh atasan untuk saya jajaki. Prasyarat telah saya lewati. Jumlah minimal kata pun terasa masih masuk akal untuk dikejar. Saya mulai menulis dengan gila. Mencari beragam referensi sembari memilin kata. Kian lama kian asyik sampai saya lupa. Bahwa ternyata semakin dalam saya masuk ke pokok cerita, tema yang harus saya angkat malah semakin samar. Saya tak lagi sanggup melukis dengan apik. Hati berontak, pokok cerita saya kian melenceng dari alur sebenarnya yang diinginkan para dewan juri. Akhirnya saya putuskan berhenti. Pertarungan ini bukan untuk saya sebab berdusta dalam cerita sesungguhnya bukan spesialisasi.
Belajar dari pengalaman, saya putuskan sama sekali tak mencoba mengangkat pena. Biarlah teman-teman lain saling beradu strategi, bermain kata-kata. Sebab seyogianya tak ada yang salah dan benar dalam sebuah tulisan. Tiap ide itu berharga dan layak mendapat pujian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H