Mohon tunggu...
therealkhana
therealkhana Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis menyenangkan diri sendiri dan bermanfaat bagi orang lain

Seorang Penulis Buku Solo "Fika", "Tantangan Menjadi Orang Tua di Masa Pandemi", dan buku puisi "Bulan di Langit Biru"

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Saat yang Tepat untuk Berhenti

31 Oktober 2021   05:24 Diperbarui: 31 Oktober 2021   06:58 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapan? Setiap orang punya batasan masing-masing pada titik mana harus beristirahat. Melepaskan kesempatan yang telah sekian waktu ditunggu bukan perkara sepele. Saya, contohnya. Sepekan yang lalu, saya mengenal sebuah media online tempat para penulis bisa menyetorkan ide-ide tulisannya. Setiap akhir pekan, akan dibuka tawaran penyampaian opini dengan tema yang telah ditentukan. Biasanya seputar berita yang sedang "in" saat itu.

Pekan yang lalu saya terlambat menyampaikan naskah opini sebab baru terinfo setelah batas waktu penyampaian berakhir. Pekan depan saya harus bisa ikut serta.
Hari yang dinanti pun tiba. Tema berita telah disampaikan. Seperti mendengar pelatuk pistol pertanda aba-aba pertandingan di mulai, saya yang sedari lama telah mempersiapkan kuda-kuda, bergegas mengayuhkan kaki. Tetapi baru satu dua langkah tetiba otak memerintahkan kaki untuk Berhenti mendadak. Suara sol sepatu berdecit. Saya nyaris kehilangan keseimbangan sebab tindakan mendadak yang diambil sang kaki. Di kanan kiri saya melihat pelari lain kian asyik mengayunkan langkah, sementara saya roboh, terduduk lunglai. Pasrah.

Impian saya harus kandas kali ini. Tema yang disampaikan ternyata sebuah pamali. Lalu saya memang tak cukup punya nyali untuk berkoar-koar kali ini. Begitulah. Bahkan seorang penulis pun punya batasan melangkah. Tak setiap tantangan harus diambil dengan gagah. Pun tentang kali ini saya akui merupakan sebuah kelemahan yang tak lantas membuat saya menjadi pecundang. Hanya merupakan bentuk penghargaan terhadap amanah yang selama ini diemban. Akan selalu ada gunung yang tak bisa didaki.

Pernah pula suatu kali, sebuah lomba menulis ditawarkan oleh atasan untuk saya jajaki. Prasyarat telah saya lewati. Jumlah minimal kata pun terasa masih masuk akal untuk dikejar. Saya mulai menulis dengan gila. Mencari beragam referensi sembari memilin kata. Kian lama kian asyik sampai saya lupa. Bahwa ternyata semakin dalam saya masuk ke pokok cerita, tema yang harus saya angkat malah semakin samar. Saya tak lagi sanggup melukis dengan apik. Hati berontak, pokok cerita saya kian melenceng dari alur sebenarnya yang diinginkan para dewan juri. Akhirnya saya putuskan berhenti. Pertarungan ini bukan untuk saya sebab berdusta dalam cerita sesungguhnya bukan spesialisasi.

Belajar dari pengalaman, saya putuskan sama sekali tak mencoba mengangkat pena. Biarlah teman-teman lain saling beradu strategi, bermain kata-kata. Sebab seyogianya tak ada yang salah dan benar dalam sebuah tulisan. Tiap ide itu berharga dan layak mendapat pujian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun