Mohon tunggu...
There J.E.
There J.E. Mohon Tunggu... -

There JE adalah pemerhati buku yang concern terhadap dunia penerbitan dan teknologi informasi. Tinggal di Yogyakarta, dan sangat menikmati buku sebagai 'makanan bergizi' setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ternyata, Berpikir Kotor itu Baik untuk Otak

31 Desember 2012   13:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:43 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ada penelitian baru yang berkembang di tengah-tengah para ilmuwan. Penelitian itu menegaskan kalau orang yang terlalu bersih justru akan membuat otak menjadi kurang bertenaga dibanding mereka yang berpikir untuk bermain di tempat yang kotor. Itu artinya, punya pikiran yang kotor, alias ingin bermain di tempat kotor, mampu memicu kekuatan otak.

Penelitian ini memang tidak menggunakan manusia sebagai bahan eksperimen, melainkan tikus. Dalam penelitian itu, si ilmuwan—bernama Dorothy Matthews—menghidangkan selai kacang yang sudah dicampur dengan bakteri tanah yang tidak berbahaya. Ternyata menurut pengamatan si ilmuwan yang bekerja di Sage Colleges New York, tikus itu berlari dua kali lebih cepat melalui labirin dan tampak senang melakukan hal tersebut.

Penelitian ini diungkapkan pada acara tahunan yang diselenggarakan American Society of Microbiology di kotak San Diego, California. Dalam risetnya itu, Matthews memberi tikus itu dengan sebuah hidangan, roti berwarna putih dengan sapuan selai kacang di atasnya. Roti putih ini digunakan sebagai reward atau hadiah untuk memicu tikus-tikus berlari di sepanjang jalur labirin. Ketika roti itu dicampur dengan sejumlah kecil bakteri berjenis Mycobacterium vaccae, ternyata Matthews menemukan fakta kalau si tikus berlari lebih cepat menelusuri jalur labirin dibandingkan tikus-tikus yang tidak diberi campuran bakteri. Ini mengesankan kalau bakteri tersebut sepertinya mempengaruhi otak si tikus untuk mempelajari jalur-jalur labirin lebih cepat.

Penelitian ini dilanjutkan hingga 6 minggu sejak Matthews menemukan kesimpulan awal dari penelitiannya itu untuk menjamin kalau apa yang ia duga itu benar-benar valid. Hasilnya, bahkan setelah si tikus itu tidak diberi roti berisi olesan selai kacang dengan “cita rasa” bakteri pun, hewan pengerat ini tetap tampak pintar menyusuri labirin hingga empat minggu ke depan.

Pada akhirnya, Matthews berpijak pada kesimpulan bahwa bakteri itu ternyata mempengaruhi otak dan meningkatkan fungsi kognitif pada mahluk hidup, termasuk manusia. Bakteri itu mempengaruhi area otak yang disebut hippocampus sehingga proses belajar si tikus menjadi meningkat. Tidak hanya itu, bakteri tersebut juga mempengaruhi mood tikus yang ditunjukkan lewat penelitian kalau tikus-tikus yang berbakteri itu tidak tampak tegang atau lebih tenang.

Apakah bakteri yang sama bisa mempengaruhi otak manusia? Mungkin saja, jelas Matthews. Kabar baiknya adalah, bakteri-bakteri ini mudah ditemukan di tanah. Jadi, mulailah mengaduk-aduk tanah seperti bercocok tanam atau refreshing di hutan. Siapa tahu, secara tidak sengaja Anda “memakan” bakteri-bakteri itu dan oleh karenanya, otak menjadi lebih encer.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun