Beberapa waktu belakangan dunia maya (dumay) diramaikan dengan polemic  soal "pentakosta ketiga" dan gaungnya menjadi semakin keras pasca acara  Empowered21 di SICC Bogor lebih sepekan yang lalu. Tokoh utama yang  disorot adalah Pdt. DR. Ir. Niko Nyotorahardjo, dan oleh karena Pdt.  Niko adalah seorang tokoh penting di Gereja Bethel Indonesia (GBI) maka  GBI pun tak pelak turut disorot.
Wacana pentakosta ketiga memang  tidak dapat dipisahkan ketokohan Pdt. Niko, sebab beliaulah orang  pertama yang menggulirkan hal itu. Dari beberapa situs yang menayangkan  transkrip khotbah Pdt. Niko bisa kita telusuri dan simpulkan bahwa yang  dimaksud dengan pentakosta ketiga adalah "restorasi kepenuhan Roh Kudus  dengan tanda berbahasa Roh." (berjaga-jaga wordpress.com). Tuhan berbicara kepada Pdt.Â
Niko di awal tahun 2009, bahwa akan terjadi  pencurahan Roh Kudus yang lebih dahsyat pada hari-hari terakhir dengan  tanda-tanda seperti yang disebutkan di dalam Kitab Yoel 2:28-32. Dan  'pesan Tuhan' ini terkonfirmasi dari tahun ke tahun, sejak tahun 2010  hingga sekarang, di dalam forum-forum Empowered21 (dbr.gbi-bogor.org).
 Menurut saya, jika kita bertolak dari anggapan bahwa peristiwa Azusa  Street adalah "pentakosta kedua" maka kemungkinan adanya pentakosta  ketiga dan seterusnya adalah sangat masuk akal. Namun harus dipahami  (dan disadari pula tentunya) bahwa sebutan "pertakosta kedua" itu hanya  klaim sepihak dari kaum pentakostal, bukan kesepakatan teologis secara  oikoumenis. Kemudian, jika urutan penyebutannya berdasarkan kronologi  peristiwa kegerakan rohani yang melanda seantero muka bumi ini, maka  peristiwa Azusa Street sebagai "pentakosta kedua" bisa jadi tidak  obyektif. Ada beberapa alasan untuk mengatakan demikian.
 1. Adanya kegerakan-kegerakan lain sebelum peristiwa Azusa Street
 Sejarah gereja merekam banyak sekali peristiwa kegerakan rohani yang  terjadi dari waktu ke waktu, dan sulit untuk mengatakan bahwa terjadinya  peristiwa-peristiwa tersebut bukan oleh karya atau pekerjaan Roh Kudus.  Beberapa di antaranya perlu disinggung di sini; (a) Reformasi gereja  abad ke-16, (b) Kebangunan rohani di Inggris oleh John Wesley pada abad  18, (c) Gerakan kebangunan rohani besar (the great awakening) di Amerika  Serikat oleh Charles Finney, pada pertengahan abad ke-19.
 2. Adanya ketidak-obyektifan sejarah, dalam dalam penentuan "pentakosta kedua."
 Menurut Jan Aritonang (1996:167) terdapat dua pendekatan sejaran yang  berbeda di dalam menentukan peristiwa yang menandai awal gerakan  pentakosta. Pendekatan pertama adalah pendekatan sejarah idealnya,  mengacu pada peristiwa yang terjadi di Topeka, Kansas pada awal Januari  tahun 1901 dengan tokohnya bernama Charless Parham.
 Sementara pendekatan  kedua adalah pendekatan sejarah menurut kenyataannya, mengacu pada  peristiwa Azusa Street, yang terjadi pada tahun 1906 dengan tokohnya  bernama William Seymour. Selanjutnya mayoritas kalangan pentakostal  mengacu pada pendekatan yang kedua ini sebagai awal pergerakan  pentakosta. Entah berdasarkan apa? Jika berdasarkan manifestasi bahasa  roh, sebenarnya orang pertama yang mengalami manifestasi itu bernama  Agnes Ozman dalam peristiwa di Topeka, Kansas. Jika kita mau jujur dan  obyektif terhadap sejarah, maka seharusnya peristiwa Azusa Street itu  merupakan peristiwa gerakan pentakosta yang kesekian puluh, bahkan  mungkin kesekian ratus.
Sebagai seorang pentakostal saya bisa  memahami apa yang dikatakan oleh Pdt. Niko, bahwa akan terjadi restorasi  kepenuhan Roh Kudus menjelang tiba waktunya Parousia (rapture). Tetapi  menggunakan istilah "pentakosta ketiga" untuk menjelaskan maksudnya tersebut, apalagi disampaikan dengan introduksi: "Tuhan berbicara kepada  saya" menjadi kontraproduktif. Introduksi semacam ini terkesan sangat  otoritatif, sama nilai otoritatifnya dengan perkataan para nabi di zaman  PL: "berfirmanlah Tuhan" atau "demikian firman Tuhan." Siapakah yang  berani membantah ataupun melawan apa yang Tuhan katakan? Masalahnya,  para pengkhotbah yang suka menggunakan introduksi tersebut harus  menyadari bahwa mereka berbicara dalam alam pikiran bahwa Alkitab itu  bersifat cukup (sufficienti), dan oleh karena itu semua yang mereka  katakan harus selaras dengan Alkitab. Semoga bermanfaat. Tuhan Yesus memberkati.Â
Penulis : Pdt. Musa Haisoo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI