Mohon tunggu...
Theo Sanjaya
Theo Sanjaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Freshgraduted

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mencapai Ekuilibrium Agama

14 Februari 2022   12:52 Diperbarui: 14 Februari 2022   13:21 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, agama seolah kehilangan kewibawaanya. Arti agama secara etimologi, yang dalam bahasa Sansekerta berarti tidak kacau (a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau), menunjukan adanya ambiguitas di dalam realitas agama. Agama yang idealnya menciptakan situasi  harmonis justru menjadi sumber kekacauan dalam realitas hidup manusia.

Di tengah agama yang senantiasa memperjuangkan kemanusiaan manusia, realitas  praktik agama justru mereduksinya dengan aneka aksi intoleransi, mengatasnamakan agama. Realitas demikian memunculkan pertanyaan skeptis ya kni mengapa manusia masih menempatkan agama sebagai  pijakan berkehidupan, padahal realitas kerapuhan agama di tengah dinamika masyarakat modern begitu eksplisit.

Idealitas dan Realitas Agama

Sebagai suatu pandangan hidup, agama berusaha mewujudkan realitas hidup yang ideal. Agama berusaha  membantu manusia dalam menemukan kemanusiaannya sendiri. Agama  berusaha  hadir  sebagai stabilisator kehidupan. Melalui agama, realitas manusia yang  terlalu duniawi hendak direduksi. Idealitas agama tergambar dalam prinsip hidup agama yang menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dengan manusia (horizontal) dan manusia dengan Tuhan (vertikal). Dalam agama Katholik, visi keharmonisan hidup demikian digambarkan secara simbolis melalui salib.

Sebagai suatu bentuk idealitas, tidak ada agama yang mengajarkan aksi intoleransi. Dalam Islam, kita mengenal bahwa Islam merupakan agama yang rahmatal lil 'alamin" (agama  yang  mengayomi seluruh dunia). Dalam Katholik pun kita mengenal ajaran perihal kasih universal, kasih yang mau menembus sekat, tidak eksklusif melainkan inklusif (bdk Luk 10:25-37). Maka, muncul suatu pertanyaan fundamental yakni apakah layak seseorang disebut beragama ketika  terus membenci dan bertikai. Bukankah bangga sebagai orang beragama tetapi tidak mencerminkan spirit  agama dalam hidup keseharian, sebagai bentuk penistaan agama personal?

Dewasa ini, realitas agama tergambar secara kompleks . Ada tendensi destruktif  yang  mengancam dinamika hidup bersama. Tendensi destruktif tersebut tercermin dalam aneka kasus konflik mengatasnamakan agama baik dalam lingkup nasional maupun global. Realitas tersebut tercermin salah satunya lewat kasus terorisme yang menyerang dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada  hari Jumat, 15 Maret 2019.Tendensi destruktif pada realitas agama juga tercermin pada kecenderungan agama yang  digunakan sebagai alat legitimasi politik.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada realitas agama konstruktif yang bisa disyukuri keberadaannya. Realitas tersebut tergambar pada aneka praktis sosial yang diinisiasi oleh agama  tertentu, salah satunya oleh Gereja. Gereja Keuskupan Agung Semarang lewat forum Karinakas berusaha merelevankan diri dengan memberi bantuan social nyata seperti APD dan sembako bagi masyarakat.

Gambaran realitas dengan idealitas yang begitu senjang membuat agama terlihat sebagai aspek hidup yang ambigu dalam hidup bermasyarakat. Realitas kesenjangan demikian berpotensi membuat manusia semakin enggan beragama. Maka, perlua adanya upaya reformasi massif dalam praktik hidup beragama agar agama tidak berhenti sebagai konsep hidup semata, melainkan hidup di tengah dinamika masyarakat.

Kritik Habermas

Fenomena kesenjangan di dalam agama membuat agama tidak terlepas dari kritik. Salah satu kritik yang cukup kritis terhadap agama berasal dari seorang profesor emeritus dari Universitas Heidelberg, Jerman bernama Jurgen Habermas. Habermas sendiri menitikberatkan kritiknya pada segi fungsi agama dalam lingkup masyarakat modern.

Menurutnya, agama dinilai tidak komunikatif terhadap dunia. Ada kecenderungan diferensiasi antara yang sacral dengan yang profan. Agama cenderung membatasi diri dengan pandangan mistis dalam menyikapi realitas dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun