Mohon tunggu...
Khoiril Basyar
Khoiril Basyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terus belajar untuk memberi manfaat kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik Tanpa Macet Bagai Sayur Tanpa Garam

2 Juli 2016   21:37 Diperbarui: 2 Juli 2016   22:07 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
macet saat mudik sudah menjadi hal biasa. gambar www.iberita.com

Mudik menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Entah mulai kapan istilah mudik ini dikumandangkan, yang jelas tradisi ini dipastikan tidak akan pernah berakhir. Jumlahnya dari tahun ke tahun selalu meningkat. Hal ini disebabkan karena setelah libur lebaran berakhir, pengadu nasib dari berbagai daerah akan berbondong bondong menuju ibu kota.

Mungkin ini bisa menjadi cambuk bagi pemerintah. Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi menjadikan masyarakat di daerah memilih untuk hijrah dari kampung halaman. Alasan memperbaiki nasib menjadi landasan mereka berpindah ke ibu kota. Namun disisi lain, mencari pekerjaan di Jakarta tidak semudah yang mereka bayangkan.

Tapi, apapun alasan mereka berada di ibu kota, tentunya mereka juga masih memiliki kampung halaman. Rasa rindu akan lingkungan, makanan, keluarga dan kerabat akan memuncak saat lebaran, sebab lebaran menjadi moment berkumpul dengan anggota keluarga. Hal inilah yang menjadikan mudik sebagai tradisi tahunan.

Mudik memiliki keasyikan tersendiri. Bagi para kompasianer yang sering melakukan mudik, pastilah tau rasa senangnya berjubel dijalan raya dan menghirup asap knalpot yang bercampur debu. Walaupun di jabodetabek sudah terbiasa macet, namun saat motor dengan plat B melintas dijalan pantura, itu menjadi sensasi tersendiri bagi para pemudik.

Mudik selalu identic dengan kemacetan parah. Sebenarnya kemacetan itu berasal dari volume kendaraan yang tiba tiba meningkat dengan signifikan. Bayangkan saja, jalanan di jabodetabek memiliki 4 atau 5 lajur sedangkan jalur pantura hanya tersedia 2 lajur. Malahan, jalur selatan yang medannya berkelok hanya memiliki satu lajur.

Tidak dijalan raya, jalan tol maupun pelabuhan, Semua pengendara mengantre untuk bisa sampai ke tujuan masing masing. Sebenarnya jika mudik dengan kondisi lancar, rasanya seperti kurang. Kemacetan parah sudah menjadi lumrah saat musim mudik tiba.

Penutupan lajur, one way, penutupan putar balik, semua dilakukan agar kemacetan bisa berkurang. Namun nyatanya, volume kendaraan yang begitu banyak masih menimbukan kemacetan parah. Disisi lain, jika mudik dengan keadaan lancar, rasanya malah aneh. Maksudnya aneh disini karena sebenarnya para pemudik sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kemacetan.

Jadi sebenarnya, mudik dan macet adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Seperti tiang dan bendera, jika tiang tanpa bendera rasanya pasti aneh. Mungkin juga bisa digambarkan seperti sayur tanpa garam, keduanya begitu melekat erat. Apabila tidak ada garam di dalam sayur, maka rasa sayurnya akan kurang sedap. Begitu juga garam tanpa sayur, tidak akan pernah dicicipi oleh orang. Jadi, mungkin begitulah gambaran mudik yang menjadi tradisi tahunan di Indonesia. Setuju?

Salam Hangat…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun