Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Review Buku] "Max Havelaar"

5 Januari 2019   10:13 Diperbarui: 5 Januari 2019   12:43 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keunikan lainnya, Max Havelaar suatu kali memberikan perumpamaan lukisan: seseorang mengintip dari lubang tembok kastil dan melihat di dalamnya ada seorang wanita yang hendak dihukum gantung. Sang pengintip menyangkal sekuat tenaga fakta yang tersaji di depan matanya. Perumpamaan ini merupakan kiasan bagi orang Eropa atas Hindia Belanda. 

Pada buku ini Eropa diwakilkan dengan Tuan Droogstoppel yang menyangkal sekuat tenaga kebenaran yang ditampilkan oleh Mr Sjaalman, dan menghubungkannya dengan keadilan Tuhan.

Kisah Saidjah dan Adinda yang dikisahkan Max Havelaar kepada teman -- teman sekompatriotnya adalah kisah yang sangat sedih. Berumur masih sangat muda, berulang kali ketidakadilan terjadi pada kedua orang ini. Namun, perampasan seakan sudah menjadi suatu kewajaran bagi umat Jawa. Kisah ini dibebat dengan percintaan yang merundung duka pada akhirnya. Dan semua akibat kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda.

Max Havelaar ditutup dengan sang asisten residen yang memberikan surat pengunduran diri kepada Gubernur Jenderal karena tidak bisa menerima ketidakadilan yang terjadi kepada pribumi. Pertentangan batin Max Havelaar di sini adalah ketidakmampuan dirinya untuk membela khalayak, mengaku bahwa diri sendiri hanyalah orang tidak berdaya menentang sistem. Sementara itu kolonialisme tetap berlangsung dan masih akan berjalan kurang lebih seratus tahun lagi.

Max Havelaar ditulis oleh E. D. Dekker dengan nama pena Multatuli. Multatuli sendiri adalah mantan asisten residen Lebak, maka Max Havelaar adalah pengejawantahan dirinya. Teknik penulisan Max Havelaar cukup unik. Multatuli mengisahkan dirinya sebagai Mr Sjaalman yang hidup sangat miskin, (memang benar demikian setelah ia kembali ke Belanda), yang menulis buku dan memberikan manuskrip bukunya ke berbagai macam penerbit (seperti yang terjadi di dalam cerita dengan Droogstoppel), kemudian Mr Sjaalman menulis tentang Max Havelaar. 

Teknik yang saya sebut sebagai writing-ception ini mengagumkan dan cukup unik. Gaya bahasanya memusingkan pada awalnya, namun jika pesannya dimengerti oleh pembaca maka dampaknya tidak akan terlupakan. Saya tidak melebih -- lebihkan. Max Havelaar adalah salah satu buku yang saya puas dalam membacanya.

Sebaik -- baiknya buku adalah yang menyampaikan pesannya dengan baik. Terima kasih, Multatuli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun