Mohon tunggu...
Theo kossay
Theo kossay Mohon Tunggu... -

tinggi badan: 165, berat badan: 80 kg, hobbi nonton dan baca,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemekaran Mengancam Budaya Papua

29 Agustus 2014   16:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

salah satu substansi dari UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah pemekaran Provinsi, Kabupaten, Distrik dan Kampung atau desa. Yang tadinya kampung atau Distrik dimekarkan menjadi Kabupaten. Kabupaten dimekarkan menjadi Provinsi seperti Provinsi Papua Barat. Tujuan utama pemekaran di 37 Kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah untuk mensejahterakan rakyat dan memperpendek pelayanan kepada masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah pemekeran kabupaten itu kebutuhan atau kepentingan?

Pengalaman membuktikan bahwa ide atau gagasan tentang pemekeran suatu Kabupaten tidak 100% (seratus pesen) datang dari masyarakat, tetapi datang dari intervensi kaum intelektual yang notabene gagal lolos pemilu legislative dan proses pemilukada serta tidak dapat job atau jabatan baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Atau barisan stress dan sakit hati karena tidak lolos terpilihjadi pemimpin. Kelompok stress ini lalu membentuk tim yang namanya tim pemekaran kabupaten seperti misalnya pemekaran Kabupaten Okiha di Jayawijaya, pemekaran Kabupaten di Putuaiburu atau Agimuga di Timika, tim pemekeran Kabupaten Girimenawa, tim pemekaran Provinsi Tabi atau Provinsi Papua Selatan atau Papua Pegunungan dan sebagainya.

Pengalaman dan kesibukan mengurus pemekaran sebagaimana diuraikan di atas menggambarkan bahwa Orang asli Papua saat ini sedang berada dalam kondisi Nina bobo dengan pemekarankabupaten atau provinsi yang mengatasnamakan kesejahteraan dan memperpendek pelayanan masyarakat. Nina bobo artinya sebuah lagu pengantar tidur dari Indonesia yang bercitrakan irama keroncong. Dalam Bahasa Indonesia, kata-kata yang digunakan untuk menidurkan anak dalam lagu ini adalah nina-bobo’ atau nina bobo. Kata kerjanya "meninabobo’kan" yang memiliki arti "menyanyikan lagu untuk menidurkan".

Versi 1

Versi 2

Nina bobo oh nina bobo

kalau tidak bobo’ digigit nyamuk.

Marilah bobo oh nona manis,

kalau tidak bobo‘ digigit nyamuk.

Nina bobo oh nina bobo

kalau tidak bobo’ digigit nyamuk.

Bobolah bobo adikku sayang,

kalau tidak bobo’ digigit nyamuk.

Lagu ini dirasa cocok untuk dijadikan anologi pemekaran. Analogi lagu menggambarkan pemerintah pusat sedang menidurkan orang Papua dengan pemekaran kabupaten dan provinsi. Kalau orang Papua tidak melakukan pemekaran maka tidak bisa sejahtera, tidak bisa makmur, tidak mandiri. Karena itu hai orang Papua, segeralah melakukan pemekaran. Sibuklah dengan pemekaran, konsentrasilah dengan pemekaran. Pemerintah pusat menangkap maksud bahwa keinginan untuk tidur itu datang dari masyarakat jadi segera tidurkanlah masyarakat dengan pemekaran. Masyarakat Papua segera dinabobo’kan dengan pemekaran, terlena bahkan terbius dengan pemekaran. Boleh dikatakan juga terhipnotis dengan pemekaran provinsi maupun kabupaten. Orang Papua jangan berpikir merdeka lepas dari NKRI tetapi berkonsentrasilah dengan pemekaran, nanti kalau orang Papua melalui timnya sudah melakukan pemekaran maka semua orang yang ada di luar Papua sana berbondong-bondong datang untuk mengisi aktivitasnya di kabupaten pemekaran itu. Kalau begitu angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia semakin berkurang dong.

Pemerintah pusat tidak memikirkan bagaimana caranya pemekaran kabupaten yang sudah terjadi dikelola dan ditata secara baik. Banyak kabupaten yang telah dimekarkan tidak dikelola dengan baik, malahan justru menambah kabupaten baru lagi. Bukankah pemekaran di atas pemekaran menambah masalah? Kalau terjadi masalah di setiap kabupaten yang sudah dimekarkan, bukankah bisa diartikan menciptakan dan memelihara konflik dan itu menjadi akar yang selalu hidup sampai kapan pun. Termasuk hingga Papua lepas dari NKRI sekali pun? Cobalah, pemekaran kabupaten yang telah dimekarkan ditata dan dikelola dulu.

Kalau Pemerintah pusat meninabobo’kan masyarakat Papua dengan pemekaran maka masyarakat Papua, terutama tim pemekaran sedang mengalami euforia. Euphoria adalahsuatu kondisi mental dan emosi di mana seseorang mengalami perasaan intens kesejahteraan, kegembiraan, kebahagiaan dan sukacita. Usulan pemekaran yang disetujui dan diundangkan oleh pemerintah melalui kewenangan DPR pusat, masyarakat Papua yang merasa pelopor dari pemekaran itu mengalami suatu suasana mental psikologis euforia.Kondisi euforia masyarakat dengan pemekaran ini tidak memikirkan seberapa banyak kesiapan dan kompetensi orang asli Papua untuk menjadi PNS, mendapatkan eselon, indeks pembangunan manusia (IPM) Kampungnya, IPM Distriknya, IPM Kabupten dan IPM Provinsi di mana pemekaran terjadi.

Sadar atau tidak, mau atau tidak, suka atau tidak, mengerti atau tidak, kondisinina bobo dan euphoria yang dialami orang Papua telah, sedang bahkan akan datang,sedang berproses menuju ancaman atas kepunahan nilai-nilai kebudayaan asli Papua baik secara genotype maupun fonotipe masyarakat asli Papua. Proses Genotipe dan fenotipe ini, saat ini berada dalam ancaman kepunahan. Genotipe dalam perspektif antropologi adalah manusia yang dipandang dari ciri-ciri gennya seperti karakteristiknya, perilakunya, sifatnya, kepribadiannya, kemampuannya, pengetahuannya dan sebaginya. Satu kekhawatiran orang Papua terkait dengan ancaman genotipeadalah hilangnya keaslian sifat, karakter, pola, perilaku, pandangan, mentalitas, identitas seperti marga/klen atau fam, nama asli, nama tanah dan bahasa ibu orang asli Papua.

Sedangkanfenotipe adalah manusia yang dipandang dari ciri-ciri fisiknya seperti warna kulit, bentuk rambut, bentuk postur tubuh, gerak-gerik jalan, hasil karya (artefak) dan sebagainya. Kekhawatiran kedua orang asli Papua adalah kepunahan warna kulit, bentuk rambut dan hasil karya kebudayaan orang asli Papua. Karena kehidupan orang Papua saat ini berorientasi pada masa depan, globalisasi dan modernisasi.

Genotipe maupun fenotipe orang asli Papua suatu saat akan hilang atau punah karena globalisasi, maka yang akan muncul adalah budaya transformasi yang diperoleh melalui suatu proses adopsi kebudayaan. Proses adopsi kebudayaan sangat memungkinkan terjadi bagi suku bangsa yang mengalami kelemahan (tidak berdaya) mempertahankan nilai kebudayaannya sehingga mengakibatkan kepunahan nilai-nilai kebudayaan, maka suku bangsa ini akan memiliki budaya transformasi atau budaya moderen. Proses pemekaran kabupaten maupun provinsi yang gencar di seluruh wilayah tanah Papua sangat memungkinkan dan memberikan peluang kepada setiap suku bangsa di tanah Papua, bahwa kelak menanti budaya modern yang akan diperoleh melalui proses adopsi.

Jika terjadi kepunahan genotipe dan fenotipe sebagaimana diuraikan di atas, maka yang paling fatal adalah proses genoside orang asli Papua.Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Kata genosida berasal dari bahasa Yunani: genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dan bahasa Latin caedere ('pembunuhan'). Jadi Genoside(Genosida atau genosid) adalah suatu aktivitas pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukumPolandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.

Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.

Di era OTSUS, khususnya pemekaran kabupaten kota, serta dalam berbagai tulisan maupun diskusi formal maupun nonformal mencuat, bahwa ketakutan orang Papua saat ini adalah terjadinya proses genoside. Orang asli Papua mengalami dan merasakan bahwa genoside di Papua terjadi sejak orde baru di mana Indonesia berlakukan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sehingga terjadi banyak pelanggaram HAM sampai dengan orde reformasi atau era otsus ini. Banyak orang Papua dibunuh secara fisik maupun mental. Minuman keras (MIRAS) juga salah satu indikator terjadinya proses genoside. Seiring dengan otonomi khusus, banyak orang non Papua melihat peluang usaha MIRAS dengan alasan dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah (PAD),agen-agen MIRAS dibuka dan bermunculandi mana-mana di seluruh kabupaten/kota tanah Papua. Sasaran pasar dan konsumennya adalah orang asli Papua. Setelah orang Papua membeli miras di agen dan mengonsumsinya, apa yang terjadi? Dampak buruk dari miras adalah setiap hari ada orang asli Papua yang meninggal dunia, ada yang cacat tubuhnya, kehidupan keluarganya kacau dan rusak, terjadi pembunuhan, kecelakaan lalu lintas di jalan raya, kendaraan rusak serta karakteristik dan identitas orangasli Papua rusak. Dengan memperlihatkan perilaku orang asli Papua seperti ini, maka kepercayaan orang non Papua bahkan sekalipun orang asli Papua juga menurun. Artinya orang Papua sering diragukan, tidak dipercayai, tidak dimampukan oleh orang non Papua.

TUM (Transmigrasi, Urbanisasi dan Migrasi). Tanah Papua sangat menjanjikan untuk setiap orang bisa datang dengan berbagai cara yaitu transmigrasi, urbanisasi dan migrasi. Terutama orang non Papua untuk mencari kehidupan yang layak melalui jasa dan peluang tenaga kerja yang disediakan di setiap kabupaten/kota melalui pemekaran.

1. Transmigrasi. Kata transmigrasi berasal dari dua kataLatin yaitu trans dan migrare. Trans artinya seberang, dan migrare artinya pindah. Jadi transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah asal ke daerah seberang (daerah lain). Pemerintah Indonesiadengan program transmigrasi telah bertahun-tahun melakukan pemindahan penduduk dari kota ke desa-desa, yaitu pemindahan padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Tujuan resmi program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Khususnya di Papua, para transmigran ditempatkan di Kabupaten seperti, kabupaten Jayapura, kota Jayapura (Koya), Arso, Merauke, Timika, Nabire, Manokwari dan Sorong.

2. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi setiap orang di setiap daerah. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kondisi dan fakta beberapa Kota Kabupaten di Papua saat ini, ketika kondisi kota Kabuputaen di Jawa tahun 1970-1980 an. Persebaran penduduk antara kota Kabupaten Papua tidak merata dengan daerah lain di luar Papua sangat memungkinkan masyarakat daerah lain datang ke Papua. Karena sebagian bentuk kota/Kabupaten di seantero tanah Papua seperti desa atau kecamatan di luar Papua seperti di Jawa, Makasar, Menado dan sebagainya.

3. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Banyak orang non Papua juga pindah tempat di Papua dalam jangka waktu yang agak lama. Di Papua mereka memiliki tanah, rumah dan usaha yang menjadi indikator menetap di tanah Papua.

Intinya bahwa orang non Papua banyak yang datang di tanah Papua melalui tiga cara sebagaimana disebutkan di atas. Dampak baik yang akan dialami oleh orang asli Papua adalah membaur dan memiliki relasi yang baik dengan orang non Papua, orang asli Papua bertumbuh dan berkembang membangun dirinya dalam kebersamaan dengan orang non Papua. Namun di balik dampak baik itu, banyak orang asli Papua juga mengalami dampak buruk yang sangat luar biasa bahkan mengancam kepunahan orang asli Papua. Dampak buruknya adalah:

1. Proses urbanisasi, migrasi dan transmigrasi dapat menggantikan dan menghilangkan populasi penduduk lokal, dan untuk melemahkan gerakan keberpihakan dan perlindungan hak-hakdasar masyarakat lokal. Program ini beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli setempat.

2. Dominasi penduduk pendatang di tanah Papua cenderung menerapkan nilai-nilai budayanya yang dibawa dari tempat asalnya sehingga menyebabkan lemahnya nilai-nilai budaya asli Papua.

3. Kecemburuan sosial akan meningkat antara orang pendatang dan orang asli. Orang asli cemburu dan tidak senang dengan orang pendatang karena orang asli Papua merasa bahwa orang pendatang berhasil sukses dan mengalami kemajuan di bidang usaha, perdagangan, wirausaha, ekonomi, pegawai negeri sipil (PNS), dominasi kepemilikan ruko-ruko (toko, kios) dan tanah serta memiliki sejumlah kekayaan di atas tanah orang Papua.

4. Berkembangnya gosipperbedaan-perbedaan nilai antara orang pendatang dan orang asli. Orang pendatang menggosip keadaan, perilaku dan kehidupan orang asli Papua. Sebaliknya orang asli Papua juga menggosip keadaan, perilaku dan kehidupan orang pendatang.

5. Tanah Papua menjadi lahan subur mengurangi angka kemiskinan dan angka pengangguran di Indonesia. Banyak orang non Papua datang ke tanah Papua memberikan estimasi bahwa dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia karena implementasi otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat memberikan dampak manfaat yang sangat besar bagi orang asli Papua maupun non Papua di tanah Papua. Indikator atas pernyataan ini adalah pemekaran Kabupaten dan pertumbuhan aktivitas Kabupaten/kota secara mikro maupun makro membutuhkan tenaga-tenaga, karyawan, PNS dari berbagai latar belakang pendidikan, pengalaman, keterampilan, sosial budaya dan sebagainya. Pemekaran provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung di seluruh tanah Papua yang menciptakan lapangan kerja ini tidak seimbang dengan populasi pertumbuhan dan persebaran orang asli Papua. Pertanyaannya adalah untuk siapakah pemekeran provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung?

6. Orang Papua asing di atas tanahnya sendiri. Orang asing jadi tuan di atas tanah orang pribumi atau orang asli. Ketika suatu wilayah dimekarkan menjadi kabupaten, distrik dan kampung, masyarakat pemilik hak atas tanah tertentu sudah melakukan transaksi tanah. Tanah airnya, tanah tumpah daranya, tanah kelahirannya, tanah sebagai bukti warisan leluhurnya telah diberikan kepada orang lain dengan cara menjual. Kemanakah masa depan anak cucu orang Papua jika tanahnya dijua? Uang, globalisasi dan konsumsi produk-produk modern mempengaruhi perilaku menjual tanah. Tanah diserahkan kepada pengusaha hanya gara-gara satu botol minuman keras. Sistem ijin pun berlaku untuk mendapatkan tanah. Mengambil atau memiliki tanah atau hutan dengan harga yang murah yang tidah wajar lalu tanah tersebut dijual kembali dengan harga mahal atau harga yang wajar.Pengusaha dengan seenaknya mendapatkan tanah dengan cara memberi miras 1 botol kepada ondoafi ataumasyarakat pemilik tanahnya dengan masa waktunya sekian lama. Inilah pengalaman kasus di beberapa lokasi tanah Tabi (kota Jayapura, kabupaten Jayapura dan kabupaten Keerom).

Tulisan ini ingin memberikan pencerahan, mengingatkanserta mengontrol orang Papua atau masyarakat Papua yang tinggal dan hidup di atas tanah Papua, bahwa jika terlalu sibuk dengan pemekaran kabupaten maka suatu waktu, cepat atau lama, keseluruhan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur sebagai bukti sejarah budaya akan punah. Tulisan ini disadurkan dan dianalisis dari berbagai sumber.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun