Tubuh manusia memiliki sistem saluran pernafasan. Pernafasan sangat erat kaitannya dengan 'udara'. Bayangkan ketika salah satu saluran pernafasan udara kita terganggu, maka kita akan bernafas dengan tersengal-sengal dan akan membahayakan kesehatan kita.Â
Kota juga berlaku demikian jika pengaliran udara di perkotaan menjadi tersumbat oleh beberapa elemen kota (bangunan, vegetasi, beserta elemen-elemen lainnya) yang tidak ditata dengan baik, maka akan berdampak pula bagi kesehatan kota dan warganya (misl: suhu udara meningkat, tingkat kelembaban tinggi, pergerakan angin rendah).
Hal inilah juga yang salah satunya akan berpengaruh pada tingkat 'keramahan' ataupun sebaliknya tingkat 'kemarahan' warga kota itu sendiri. Coba sesekali kita telusuri dan bandingkan kedua hal yang bertanda kutip tadi pada kota/kawasan berkepadatan tinggi dengan kota/kawasan berkepadatan rendah, yang manakah yang warganya 'ramah' dan yang mana kah yang warganya mudah 'marah'.Â
Ventilasi perkotaan atau lebih dikenal dengan istilah 'urban ventilation' merupakan upaya/strategi pengaliran udara di lingkungan perkotaan yang berkepadatan tinggi (Ng, 2010). Upaya ini secara harafiahnya untuk mengalirkan pergerakan udara di kota/kawasan kota dengan lancar hingga ke seluruh penjuru kota tanpa hambatan.
Ventilasi perkotaan ini dapat diupayakan salah satunya dengan penataan bangunan-bangunan yang ada di kawasan perkotaan itu sendiri. Jalur atau aliran sungai di dalam kota berpotensi sebagai jalur ventilasi alami (memiliki pergerakan angin cukup besar) yang dapat dimanfaatkan sebagai strategi awal untuk memasukkan dan mengalirkan udara/angin ke berbagai penjuru di dalam kota. Oleh karena itu pada kota-kota ber-sungai, alangkah baiknya jika permukiman/bangunan-bangunan padat yang berada di tepian sungainya dilakukan penataan/pengaturan dengan tidak menghalangi pergerakan 'angin' untuk masuk ke kota.
Upaya penataan bangunan ini saya istilahkan dengan sebutan usaha 'penjarangan' kemudian 'penjaringan' (maksudnya penjarangan bangunan dan penjaringan udara). Bentuk upaya ini dapat dilakukan dengan memberikan regulasi tentang pengaturan jarak antar hunian/bangunan agar tidak saling berpepet-pepetan.Â
Sebagai contoh jika jarak antar masing bangunan 1 lantai (asumsi ketinggian 4 m), bisa memiliki jarak min. 2 m antar bangunan, sehingga ada celah leluasa/ruang terbuka untuk angin bergerak masuk ke kawasan lain yang berada jauh di dalamnya. Pengaturan dan penertiban sempadan bangunan terhadap sungai (merujuk perda tentang sungai) juga perlu dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan bencana yang terjadi di lingkungan sungai (seperti banjir dan tanah longsor), demi kebaikan masyarakat setempat.
Beberapa bangunan vertikal akan berperan penting sebagai inlet untuk menangkap dan mengarahkan angin dengan ketinggiannya, asalkan layout bangunan vertikal ini diatur berorientasi terhadap pergerakan angin (*pengaturan orientasi harus mempertimbangkan bagaimana kecenderungan tersering angin bergerak di sungai setempat, data ini dapat diperoleh di BMKG setempat). Penataan bangunan semacam ini disebut dengan istilah 'wind tunnel'atau bahasa lumrahnya terowongan/koridor angin. Â
Kondisi tersebut mengakibatkan kepadatan serta kekumuhan di kawasan tepi sungai yang berdampak pula pada terhambatnya pergerakan angin dari sungai untuk masuk ke kota (potensi sungai sebagai jalur ventilasi alami tidak termanfaatkan).
Untuk mengatasi penggunaan lahan yang tidak teratur dan terpola tersebut, dapat dilakukan melalui mekanisme land readjustment(istilah di Indonesia yaitu konsolidasi lahan ; Nederland dan Jerman menggunakan istilah land pooling), yang maksudnya adalah penataan kembali kepemilikan dan penggunaan tanah. Prinsip dasar dari metode ini adalah replot-- reshuffle-- contribution(penyesuaian batas tanah -- penyesuaian lokasi -- kontribusi lahan).
Written by: Theo Fransisco
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H