Asia Timur menjadi "arena" di mana negara-negara berusaha bertahan hidup di bawah ancaman nuklir Korea Utara. Keberadaan senjata nuklir "the Hermit Kingdom" itu telah mengancam Asia Timur, suatu kawasan dengan tingkat pertumbuhan yang pesat, penuh dengan aliansi militer dan negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Hingga kini, Korea Utara setidaknya telah melakukan enam kali uji ledak senjata nuklir, yaitu pada tahun 2006, 2009, 2013, 2016 dan 2017.Â
Senjata nuklir yang dapat "ditanamkan" dalam rudal jelajah antar benua (Intercontinental Ballistic Missile / ICBM) yang dapat mencapai jangkauan lebih dari 15.000 km tidak hanya mengancam Asia Timur, melainkan turut mengancam kawasan-kawasan lain. Dengan itu, tidak dapat disangkal lagi bahwa senjata nuklir -- yang jatuh ke dalam kategori senjata pemusnah massal -- Korea Utara turut menjadi ancaman bagi perdamaian dunia dan keamanan global.
      Dalam konteks kepentingan nasional, maka kepentingan "rezim nuklir" tersebut tentunya bersinggungan dengan kepentingan nasional negara-negara Asia Timur dan kawasan lainnya. Jika Korea Utara ingin menjadi negara yang kuat, kaya, dan besar melalui pengayaan senjata nuklir dengan slogan "Kang Song Dae Guk", maka kepentingan tersebut menjadi ancaman bagi negara-negara di kawasan lain yang turut ingin bertahan hidup.Â
Melalui Teori Realisme Ilmu Hubungan Internasional, kita mengetahui bahwa setiap negara memiliki satu tujuan, yaitu untuk bertahan hidup di dunia yang penuh dengan anarki. Sebab itu, ketika Korea Utara berusaha bertahan hidup di tengah dunia anarki melalui slogan "Kang Song Dae Guk", maka negara-negara lain akan merespons dengan memperkuat dirinya.Â
Jika negara-negara lain tidak mampu memperkuat diri, maka mereka akan mencari aliansi kepada negara-negara yang lebih kuat, seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Jepang melalui kerja sama keamanan dan militer bersama Amerika Serikat.
      Dalam satu sisi, keberadaan Amerika Serikat dapat mempertahankan negara-negara yang beraliansi dengannya di Asia Timur. Namun di sisi lain, Amerika Serikat mampu menjadi "sistem intrusif" bagi Asia Timur. Sebagai sistem intrusif, Amerika Serikat menjadi negara yang terlibat secara aktif dalam partisipasi politik dan keamanan di Asia Timur.Â
Tentu keberadaan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur mampu menangkal usaha Korea Utara untuk menghegemoni kawasan tersebut. Melihat hal ini, upaya Korea Utara menjadi negara yang kuat, kaya dan besar melalui senjata nuklir dapat terhalang. Tetapi, senjata nuklir yang memiliki daya hancur besar dan mampu menjangkau lebih dari 15.000 km dapat menjadi "bargaining chip" bagi Korea Utara dengan negara-negara Asia Timur dan luar kawasan tersebut.
      Senjata nuklir sebagai "bargaining chip" (koin tawar menawar) dapat digunakan Korea Utara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Dalam beberapa contoh, satu tahun menjelang musibah kelaparan (famine), pada tahun 1993 Korea Utara menyatakan kepada dunia bahwa mereka akan membangun pusat nuklir.Â
Keinginan untuk membangun pusat nuklir pun mendapat tanggapan dari Presiden Bill Clinton. Presiden Clinton akhirnya mengadakan pertemuan dengan Kim Il-Sung terkait wacana pembangunan pusat nuklir tersebut. Melalui satu contoh ini, kita dapat melihat satu tendensi di mana Korea Utara mampu mengancam negara-negara lain dengan ketakutan senjata nuklir. Dengan demikian, senjata nuklir bukan hanya berguna menjadikan Korea Utara sebagai negara yang kuat, kaya dan besar, melainkan senjata nuklir menjadi alat diplomasi Korea Utara kepada dunia.
      Senjata nuklir sebagai alat diplomasi di tengah dunia yang anarki akan mendorong respons negatif dari berbagai negara. Tidak mungkin negara-negara di dunia ingin "ditakuti" oleh Korea Utara hanya karena rezim nuklir tersebut ingin bertahan hidup. Menanggapi ancaman dan kekhawatiran ini, beberapa negara di dunia (terutama negara-negara Barat, termasuk aliansi NATO) memberikan sanksi-sanksi kepada Korea Utara. Namun, didorong oleh ideologi Juche (self-reliance atau bersandar pada diri sendiri), maka Korea Utara berusaha untuk dapat "hidup" di tengah dunia anarki yang seolah-olah menjauhi diri dari Korea Utara, termasuk Korea Selatan.
      Korea Selatan telah menjadi target ancaman Korea Utara semenjak akhir Perang Korea, tepatnya tahun 1953. Kedua Korea berbagi "identitas" yang sama, namun memiliki "kehidupan" yang berbeda itu harus menjadi tetangga dalam satu semenanjung. Semenanjung Korea pun menjadi "hot spot" bagi Asia Timur dan kawasan lain.Â