Mohon tunggu...
joko arizal
joko arizal Mohon Tunggu... -

Student of Philosophy and Religion at Paramadina University.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Islam, Masih Relevankah?

22 Januari 2014   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Reinkarnasi partai-partai islam merupakan sebuah euforia politik yang tak terelakkan dari proses reformasi. Betapa tidak, 32 tahun berada di bawah kangkangan leviatan nan absolut-sentralistik,  ruang gerak kebebasan untuk menentukan arah-tujuan suatu tindakan ditiadakan. Semuanya diatur oleh satu tangan. Demi kelanggengan kekuasaan, islam politik dimarginalkan. Namun, ia tak mampu lagi bertahan. Karena hempasan badai waktu yang semakin melaju, menjadi penentu berakhirnya sesuatu.

Itulah awal perubahan drastis iklim politik nasional. Reformasi 1998 menjadi angin segar bagi warga negara untuk mengekspresikan diri dalam berserikat atau berkumpul, bahkan ikut serta unjuk gigi di atas pentas perpolitikan nasional. Hal ini terbukti menjamurnya berbagai partai politik, baik yang nasionalis maupun agama. Nah, sorotan kita dalam tulisan ini adalah kemunculan partai-partai Islam pasca reformasi.

Memang, bahasan mengenai dinamika partai islam khususnya di Indonesia tetap seksi untuk dikaji. Karena partai islam yang tampil tidak berdimensi monolitik, melainkan pluralistik. Tentu kita akan bertanya-tanya, mengapa partai islam tidak satu? seandainya partai islam satu, besar kemungkinan dengan mudah menggeruk suara umat Islam Indonesia. Jawabnya, karena secara eksplisit  partai-partai islam merupakan representasi pluralitas umat Islam Indonesia. Di sanalah letak keseksiannya.

Tampilnya partai-partai islam tak bisa lepas dari pergolakan panjang suatu gerakan (harakah) di atas kanvas hari-hari yang telah dilewatkan. Misalnya Gerakan Tarbiyah yang terbentuk pada 1970-an merupakan embrio Partai Keadilan (PK). Gerakan Tarbiyah diinisiasikan oleh Abu Ridho yang telah menyelesaikan studi di Madinah atas bantuan M. Natsir melalui DDII. Abu Ridho lah secara militan menyebarkan doktrin-doktrin Ikhwanul Muslimin (IM), seperti penerjemahan buku-buku Hassan Al-Banna dan Sayyid Qutb. Pola gerakan pun ia adopsi dari IM. Kalau kita telusuri secara geneologis, IM juga mengadopsi pola gerakannya dari ideologi fasisme di Italia.

Adalah suatu kepatutan bagi kita untuk mengacungkan jempol terhadap pola gerakan yang mereka (kader Tarbiyah) terapkan untuk mengekspansi ideologinya. Karena kecakapan mereka dalam  mengorganisir dan menstrukturisasi gerakan secara rapi. Al hasil, lahirlah Lembaga Dakwah kampus (LDK) yang menjadi kantong-kantong gerakan di perguruan tinggi. Kemudian dari LDK dibentuklah FSLDK. Pasca reformasi, melalui konsesus mereka mendirikan KAMMI di Malang (1999). Dua bulan kemudian, dari KAMMI lahirlah PK.

Begitu pula halnya dengan partai-partai islam lainnya juga tidak bisa lepas dari kemasalaluan. Seperti romantis-historisnya PBB terhadap Masyumi, Seolah-olah ingin melanjutkan cita-cita leluhur mereka. sehingga Yusril dengan gagahnya memproklamirkan diri sebagai Natsir Muda.

Berbeda dengan PAN dan PKB, meskipun mereka mengklaim diri sebagai partai nasionalis. Partai tersebut tetap dianggap sebagai partai Islam. Karena basis massa dan dukungan sangatlah jelas, PAN dengan Muhammadiyah dan PKB dengan NU.

Lalu, bagaimanakah kondisi partai Islam pasca mengikuti pemilu 1999 ? Jika dibandingkan dengan pada pemilu 1955, pemilu 1999 perolehan suara partai islam mengalami kemerosotan, dari 43,7 % menjadi 36,8 %. Namun, secara taktis partai islam dapat memenangkan pemilihan presiden melalui pembentukan poros tengah.

Pada pemilu 2004, partai islam dapat menggenjot suara sebanyak 38,1 %.  Tapi pada pemilu 2009, perolehan suara partai islam kembali mengecewakan kader dan simpatisannya yaitu 23,1 %. Bahkan hasil berbagai lembaga survei memperkirakan, pada pemilu mendatang perolehan suara partai islam akan semakin anjlok.

Pertanyaannya,  gerangan apa yang menyebabkan kondisi partai islam kian terpuruk, terutama hasil pemilu 2009 dan perkiraan pemilu 2014? Berbagai faktor internal dan eksternal yang menjadi penyebab partai islam semakin diujung tanduk, yaitu :

a.Faktor Internal

1.Tidak adanya figur berintegritas yang menjadi panutan para kader.

2.Banyaknya kader yang tersandung berbagai kasus, seperti korupsi dan tindakan asusila.

3.Tergadainya idealisme partai, ulah prilaku kader yang berparadigma pragmatis.

4.Prestasi kader yang memangku jabatan kurang baik, bahkan tidak memuaskan publik.

5.Kualitas kader yang rendah, akibat pola pengkaderan yang tidak berjalan dengan baik.

6.Kurangnya perhatian terhadap problematika sosial, seperti konflik horizontal, kemiskinan, pengangguran dan inkonsisten penegakan hukum. Justru lebih dominan terhadap isu-isu anti-amerika, anti-zionis dan pembelaan Palestina secara berlebihan.

7.Tidak adanya nyali untuk beseberangan dengan pemerintah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya partai islam yang oposisi.

8.Dilema antara ideologi dan kepentingan. Karena terperangkap dalam hukum kurva lonceng.

9.Ketidakjelasan ideologi kepartaian. Partai islam hanya sebatas mengenakan antribut-antribut agama. Politik Islam yang ditampilkan besifat lipstik, kelihatan tapi tak terasa.

b.Faktor Eksternal

1.Pemilih yang semakin cerdas dan rasional. Melihat kondisi partai islam yang tak jelas, maka pemilih atau simpatisan akan beralih ke partai yang nasionalis.

2.Partai-partai nasionalis memiliki lembaga independen keagamaan yang berupaya mengakomodir kelompok Islam, seperti PDIP yang memiliki Baitul Muslimin.

3.Adanya kecemasan di kalangan masyarakat atas pemberlakuan hukum legal-formal Islam jika partai islam berkuasa.

Berdasarkan berbagai faktor di atas, kita dapat menilai bahwa partai-partai islam tidak memiliki prospektif yang baik. Apalagi upaya untuk mengusung formalisme Islam, pasti mendapat perlawanan dari umat Islam itu sendiri. Karena corak keber-Islaman di Indonesia bersifat kultural-substansial, bukan formal sebagaimana berlaku di berbagai negara Timur-Tengah.

Mengutip pendapat Kuntowijoyo, “Agama berdimensi plural, sedangkan politik berdimensi tunggal. Menjadikan agama sebagai politik adalah sebuah reduksi besar-besaran atas makna agama.” Selanjutnya ia menegaskan bahwa partai Islam lebih banyak mudarat ketimbang manfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun