Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Komunisme Ngawurisme Tiada Tara

28 Juni 2016   21:14 Diperbarui: 29 Juni 2016   14:44 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seandainya saya adalah pelatih timnas sepakbola Spanyol yang akan bertanding melawan timnas Italia, saya harus mempelajari dengan seksama seluk-beluk tim Italia; akan saya pelajari bagaimana mereka biasanya bermain, komposisi pemainnya seperti apa, pelatihnya siapa, track record-nya seperti apa, dan sebagainya. Sesudah saya khatam mempelajari seluk-beluk lawan, barulah saya mulai melatih tim saya sesuai dengan apa yang sudah saya pelajari dari tim Italia. Saya tidak akan mengatakan kepada para pemain saya, "Minggu depan kita akan melawan Italia, maka segala yang berbau Italia adalah haram bagi kita. Jangan ada yang menyebut kata Italia sesudah ini."

Saya bukan ahli sepakbola. Kebetulan timnas Spanyol baru saja kalah dari Italia, dan itulah yang muncul di kepala saya ketika membuat tulisan ini. Saya hanya ingin membuat perbandingan sekenanya dengan kebodohan yang terlalu mencolok yang muncul di dunia maya beberapa hari ini: orasi tentang komunisme.

Begini.

Seandainya saya mengaku membenci komunisme, pengandaiannya adalah saya sudah mempelajari baik-baik apa itu komunisme, ajarannya dari mana, seperti apa keburukannya sampai harus saya benci, dan lain sebagainya. Kalau belum mempelajari apa-apa tentang komunisme dan berani menyuarakan kebencian kepada komunisme dalam orasi, lebih baik saya harakiri daripada memamerkan kebodohan saya sendiri. 

Kalau saya bilang bahwa komunisme adalah musuh bersama, akan saya ajak semua orang untuk mempelajari ajarannya, saya ajak diskusi, nonton film tentang komunisme. Maksudnya adalah supaya semua orang tahu betapa bahayanya ajaran itu untuk kehidupan bangsa Indonesia. Kalau memang dia adalah musuh kita, harus kita pelajari cara melawannya. Untuk bisa tahu bagaimana cara terbaik untuk melawannya, mau tidak mau kita harus belajar. Buku-buku tentang komunisme harus dicetak sebanyak-banyaknya, pemutaran film PKI harus diperbanyak, seminar-seminar harus semakin sering diadakan. Hanya berkoar-koar bahwa komunisme berbahaya menunjukkan kerendahan budaya intelektual dan mempermalukan diri sendiri.

Sejak tragedi 1965, berapa banyak buku pengetahuan tentang komunisme dibredel? Berapa banyak diskusi dan pemutaran film komunisme dibubarkan? Berapa? Kita tuai akibatnya sekarang: banyak orang tidak tahu apa-apa tentang komunisme tapi berani berorasi bahwa komunisme berbahaya. Ada yang bilang komunisme ajaran Aristoteles lah, Tomas Darwin lah. Iya...(sayangnya) saya tidak salah dengar; sang orator dengan lantang mengatakan bahwa komunisme berasal dari ajaran Tomas (astaga....belajar di mana ini orang?) Darwin. Jadilah judul tulisan ini "Komunisme Ngawurisme Tiada Tara".

Sayangnya, kita tidak belajar dari Jerman. Di sana, sejarah kelam Nazi dipelajari sedemikian rupa. Maksudnya adalah supaya kekelaman itu tidak terulang kembali. Di Indonesia, buku-buku komunisme diberangus, diskusi film dibubarkan, pembahasan komunisme dilarang. Dan sekarang, orang Indonesia lihat gambar palu arit saja sudah kebakaran jenggot.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun