Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah daripada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa. Ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar daripada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah. Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan (Ibrani 11:24-27).
Kompasianer yang terkasih, setelah artikel sebelumnya yang berjudul: "Karena Iman Orang Tua Melihat Anaknya Hebat", yang menceritakan iman orang tuanya Musa, kali ini saya membahas imannya Musa yang mampu melihat yang benar. Imannya Musa tentu dari didikan orang tuanya yang takut akan Allah karena Musa dirawat dan diasuh oleh orang tua kandungnya sampai ia sudah cukup besar sebelum ia diserahkan kepada puteri Firaun sebagai anak angkatnya (Keluaran 2:7-10). Anak dari teks Ibrani yeled yang artinya child, son, boy, youth (Bible Hub menerjemahkannya dengan child). Kelompok umur kanak-kanak ialah 5-11 tahun (neliti.com). Jadi, Musa di bawah asuhan orang tuanya sampai ia berumur 5-11 tahun, sudah bisa diajar untuk mengenal Allah Yang Mahakuasa sebagaimana yang dikenal oleh Abraham (Kejadian 17:1) dan keturunannya (waktu itu nama Yahweh belum dikenal).
Dari pembacaan ayat pokok di atas, kita dapat belajar dari Musa tentang iman yang memampukan kita melihat yang benar. Yang pertama, Musa melihat penderitaan dan kesengsaraan merupakan proses pendewasaan umat Allah (ayat 24-25). Menurut kesaksian Stefanus: "Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya" (Kisah Para Rasul 7:22), itu berarti Musa seorang pejabat yang berpengaruh di Mesir. Meski demikian, Musa akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya ia orang Ibrani dan dengan iman ia menolak statusnya sebagai anak puteri Firaun dan cucu Firaun. Musa memilih meninggalkan istana dan bergabung dengan umat Allah meski ia harus ikut menanggung derita dan sengsara daripada ia tetap berada di istana, tetapi hidup di dalam kesenangan dosa yang biasa dipraktikkan orang-orang Mesir.
Yang kedua, Musa melihat Kristus adalah kekayaan yang sejati (ayat 26). Di sini penulis Surat Ibrani menyimpulkan, bahwa sesungguhnya yang dilihat Musa dengan iman yang jauh ke depan itu adalah Kristus yang di dalam penderitaan-Nya Ia memberikan kepastian hidup yang sesungguhnya. Jadi, yang dilihat Musa bukanlah harta kekayaan Mesir yang telah dan akan ia nikmati selama ia menjadi keluarga Firaun, tetapi kekayaan abadi yang ia harapkan ialah Tuhan itu sendiri. Bagi Musa upah yang sejati bukanlah takhta atau kekayaan Mesir, hidup untuk upah yang demikian merupakan suatu penghinaan, yang duniawi tidak layak untuk diharapkan oleh umat Allah. Mengenai upah yang sejati dari Kristus, rasul Yohanes menulis: "Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya" (Wahyu 22:12). Allah akan memberi penghargaan kepada mereka yang mengasihi-Nya dan hidup untuk-Nya di tengah-tengah sistem dunia yang telah jatuh.
Yang ketiga, Musa melihat dunia dan penguasanya bukan hal yang harus ditakuti (ayat 27). "Meninggalkan Mesir" sepertinya menunjuk pada peristiwa keluarnya Israel dari Mesir, karena pertama kali perginya Musa dari Mesir ke tanah Midian disebabkan oleh rasa takutnya kepada Firaun yang berniat membunuhnya (Keluaran 2:14-15). Namun, kedua kalinya Musa meninggalkan Mesir dengan membawa bangsa Israel menuju tanah Kanaan yang dijanjikan Tuhan karena iman. Tidak ada lagi ketakutan pada Firaun karena Musa tahu persis Allah Yang Mahakuasa menyertai Israel untuk menerima penggenapan janji yang meskipun belum kelihatan, tapi dapat dipercaya. Ayat 27 ini meringkaskan inti dari iman. "Yang tidak kelihatan", di dalam konteks surat ini, adalah penggenapan janji-janji Allah (Hagelberg, Tafsiran Ibrani).
Bagi kita umat Kristen, rasul Paulus telah menasihati: "Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia" (Filipi 1:29). Jadi, penderitaan adalah bagian dari kehidupan umat Kristen yang harus dijalani untuk menuju kedewasaan dalam pengenalan akan Kristus. Kita hidup di dalam dunia dengan sistemnya, namun kita harus mengingat bahwa kita secara hakikat bukan berasal dari dunia melainkan dari Allah. Kita tinggal di dalam dunia yang sudah jatuh, namun tidak berarti kita harus berkompromi untuk hidup dalam kesenangan dosa. Kita memang bekerja di dunia dan mendapat upah daripadanya, tetapi kekayaan dunia ini tidak boleh memperbudak kita, upah kita yang sejati adalah Kristus dan kehidupan kekal. Dalam dunia kita punya penguasa, tetapi hanya kepada Allah kita takluk secara mutlak. Demi kebenaran kita harus takut kepada Allah, bukan kepada penguasa dunia ini. Amin, Tuhan Yesus memberkati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H