Nyanyian ziarah. Kepada-Mu aku melayangkan mataku, ya Engkau yang bersemayam di sorga. Lihat, seperti mata para hamba laki-laki memandang kepada tangan tuannya, seperti mata hamba perempuan memandang kepada tangan nyonyanya, demikianlah mata kita memandang kepada TUHAN, Allah kita, sampai Ia mengasihani kita. Kasihanilah kami, ya TUHAN, kasihanilah kami, sebab kami sudah cukup kenyang dengan penghinaan, jiwa kami sudah cukup kenyang dengan olok-olok orang-orang yang merasa aman, dengan penghinaan orang-orang yang sombong (Mazmur 123).
Kompasianer yang terkasih, marilah kita belajar dari pemazmur yang dalam kesehariannya mengalami penghinaan dan olok-olok yang tentu panjang perjalanannya karena di ayat 3b dan ayat 4a dikatakan: "sebab kami sudah cukup kenyang dengan penghinaan, jiwa kami sudah cukup kenyang dengan olok-olok." Jadi ini bukan terjadi sekali dua kali, ibarat makan belum kenyang ditambahi terus penghinaan dan olok-olok sampai pemazmur 'kenyang' dengan hal itu.
Pemazmur bisa saja baperan dengan perbuatan orang-orang terhadap dirinya, tetapi sebagai orang beriman yang melayani Tuhan, ia memberikan contoh kepada kita bagaimana mengatasi situasi seperti ini. Di ayat 1 pemazmur berkata: "Kepada-Mu aku melayangkan mataku, ya Engkau yang bersemayam di sorga", hal ini menunjukkan iman pemazmur bahwa persoalan yang terjadi di bumi tidak lepas dari pantauan dan pengendalian dari Allah yang bersemayam di sorga.
Itu sebabnya pengaduan pemazmur bukan kepada manusia, tetapi kepada Tuhan. Tentu saja ada alasan untuk kita melaporkan kepada pihak manusia, apalagi jika itu berurusan dengan masalah hukum. Namun, soal penghinaan dan olok-olok pemazmur mengajarkan agar kita mengadukannya kepada Tuhan saja. Mengapa? Karena status pemazmur adalah hamba, dia memposisikan dirinya sebagai hamba laki-laki atau hamba perempuan di hadapan tuannya atau nyonyanya (ayat 2).
Tuan dan nyonya adalah gambaran dari Tuhan itu sendiri, hal ini terungkap pada ayat 2c: "demikianlah mata kita memandang kepada TUHAN, Allah kita, sampai Ia mengasihani kita." Jadi sebanyak penghinaan dan olok-olok orang kepada pemazmur, maka ia memilih untuk terus memandang kepada Allah. Ini berarti pemazmur mengarahkan pandangan atau fokus bukan kepada permasalahannya, tetapi membawanya kepada Allah yang lebih berkuasa untuk mengadilinya.
Dikatakan 'tangan tuan' dan 'tangan nyonya' yang menjadi fokus sang hamba, menunjuk pada budaya masa itu di mana tuan atau nyonya dapat memanggil, menyuruh pergi dan memberi tugas kepada hambanya hanya dengan menggerakkan tangannya. Itu berarti hamba laki-laki atau hamba perempuan harus fokus melihat tangan tuan dan nyonyanya sehingga sang hamba tahu apa yang harus dilakukannya. Ada kuasa di tangan tuan dan nyonya dari sang hamba tersebut.
Di ayat 3, sang hamba berseru: "Kasihanilah kami, ya TUHAN, kasihanilah kami." Sang hamba tidak meminta belas kasihan manusia atas perbuatan orang-orang yang dikategorikan pada ayat 4 yaitu 'orang-orang yang merasa aman' (orang-orang yang mapan secara ekonomi dan sosial), dan 'orang-orang yang sombong' (orang-orang yang tidak memiliki hati yang baik), tetapi hanya memohon kepada Tuhan untuk membelanya.
Sebagai anak-anak Tuhan atau orang beriman, mari kita belajar dari pemazmur. Progresifnya di sini adalah pemazmur yang sebetulnya dapat melakukan pembalasan dengan kekuatannya sendiri, tetapi ia memilih tidak melakukannya. Salah satu contoh yang terbaik soal begini adalah Daud. Kita dapat membaca kisahnya dalam Alkitab, baik pada waktu ia belum menjadi raja dan setelah ia menjadi raja tentang bagaimana ia bersikap ketika menghadapi para musuhnya.
Musuh terbesar Daud dalam hidupnya justru dari keluarga terdekatnya sendiri yaitu Saul (ayah mertuanya) dan Absalom (anak kandungnya). Permusuhan bukan dimulai dari pihak Daud, tetapi dari pihak Saul dan Absalom, merekalah yang seumur hidup memusuhi Daud. Tetapi Daud tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk melawan dan mengalahkan mereka, dia tidak memiliki kemauan untuk membalas meskipun ada kesempatan untuk itu.
Daud memilih mengadukan masalahnya kepada Tuhan dan kita tahu ceritanya bahwa akhirnya Saul dan Absalom mati secara tragis tanpa campur tangan Daud, tanpa perintahnya untuk membunuh keduanya, tetapi benar-benar dengan cara dan waktu-Nya Tuhan mereka tersingkir. Inilah ciri orang beriman yang progresif, ia berpikir jauh ke depan mengingat Daud memiliki kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa dari Tuhan, namun ia tidak mau menggunakannya dengan keliru.