Beberapa waktu yang lalu, Saya mendapatkan kesempatan berharga untuk mengikuti ekskursi agama ke Pondok Pesantren Darul Falah, yang terletak di Cihampelas, Jawa Barat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan Kanisian, para peserta, pada budaya, adat, dan kebiasaan hidup di pesantren. Selain belajar tentang tradisi keagamaan Islam, Kanisian juga diharapkan untuk menjalani pengalaman langsung, hidup berdampingan dengan para santri dan santriwati. Ekskursi ini tidak hanya memberikan wawasan, tetapi juga mengajarkan banyak pelajaran hidup yang berharga.
Sesampainya di pesantren, Saya disambut dengan hangat oleh para santri dan pimpinan pesantren. Sambutan ini mencerminkan keramahan yang khas dari lingkungan pesantren. Dalam pidato pembukaannya, pimpinan pesantren menjelaskan filosofi di balik nama "Darul Falah," yang berarti "tempat kebahagiaan." Menurut beliau, kehidupan di pesantren dirancang untuk melatih santri agar siap menghadapi tantangan hidup. Hidup dengan seadanya bukan hanya sekedar gaya hidup, tetapi juga bagian dari proses pembentukan karakter. Pesan itu terasa sangat mendalam bagi Saya, karena mengajarkan bahwa harapan harus selalu ada, bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun.
Setelah penyambutan, Saya diajak berkeliling pesantren untuk melihat fasilitas yang ada dan menaruh barang-barang di tempat menginap. Saya segera menyadari bahwa kehidupan di pesantren jauh dari kemewahan. Tempat tidur sederhana, mandi di sungai, dan makanan yang sangat sederhana menjadi bagian dari keseharian santri. Pengalaman ini mengajarkan Saya untuk lebih bersyukur atas kenyamanan yang selama ini Saya nikmati di rumah.
Namun, di balik kesederhanaan itu, ada tantangan yang cukup mengganggu. Salah satu momen yang tidak terlupakan adalah ketika Saya menemukan kotoran biologis di atas karpet tempat tidur di kobong, sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut kamar asrama tertentu. Masalah kebersihan ini membuat Saya merenung. Kebersihan yang minim tentu memiliki dampak besar pada kesehatan, terutama bagi anak-anak yang tinggal di sana. Hal ini menyadarkan Saya akan pentingnya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat, sesuatu yang mungkin sering dianggap remeh oleh banyak orang.
Selain itu, Saya berkenalan dengan beberapa santri yang tinggal di kobong sebagai bentuk hukuman karena mereka dianggap sulit diatur oleh keluarga mereka. Ada kisah-kisah lucu namun juga miris dari mereka. Salah satunya adalah cerita tentang bagaimana beberapa dari mereka merasa tidak betah tinggal di kobong dan sering memilih tidur di halaman sekolah. Meskipun lingkungan kobong tidak kondusif, mereka tetap berusaha menjalani hari-hari mereka di pesantren.
Hari kedua dimulai dengan kesempatan untuk mengikuti beberapa kelas di pesantren. Saya bergabung dalam kelas Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, dan Matematika. Suasana kelas yang sederhana dengan ventilasi minim terasa cukup panas dan pengap. Namun, semangat para santri untuk belajar sangat menginspirasi.
Kelas Bahasa Arab menjadi tantangan tersendiri bagi Saya. Saya diminta mengulang pelafalan beberapa kalimat dalam bahasa tersebut, sebuah pengalaman baru yang cukup mendebarkan. Meskipun sempat grogi, Saya akhirnya bisa menikmati proses belajar ini. Dari pengalaman singkat ini, Saya bahkan masih mengingat beberapa kata dan angka dalam Bahasa Arab.
Selain belajar, Saya juga diberi kesempatan mengajar materi peluang dan statistika di kelas Matematika. Ini adalah pengalaman baru yang membuat Saya merasa lebih dekat dengan para santri. Saya sangat terkesan dengan antusiasme mereka untuk belajar, meskipun fasilitas yang tersedia sangat terbatas.
Kegiatan di hari kedua tidak hanya memperkaya wawasan Saya, tetapi juga membuat Saya semakin menghargai fasilitas belajar yang Saya miliki di sekolah. Saya sadar, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan, mengingat Saya memiliki akses yang jauh lebih baik dibandingkan para santri di pesantren ini.
Salah satu momen penting pada hari kedua adalah mengikuti kegiatan keagamaan yang disebut Maulid Diba. Kegiatan ini melibatkan pembacaan doa dan puji-pujian yang khas dari tradisi Islam. Sebagai peserta dari latar belakang agama yang berbeda, Saya merasa pengalaman ini sangat berkesan. Saya menyadari bahwa toleransi tidak membutuhkan hal-hal besar, melainkan hanya keterbukaan hati untuk menerima perbedaan dan menghormati keyakinan orang lain.
Malamnya, Saya mengikuti pengajian panjang yang diadakan setiap Kamis malam, berlangsung dari pukul 7 hingga 10 malam. Pengalaman mendengarkan lantunan doa selama beberapa jam menjadi momen refleksi bagi Saya. Meskipun sempat merasa lelah, Saya berusaha untuk tetap fokus dan menghormati tradisi tersebut.