Mohon tunggu...
Theo Manthovani
Theo Manthovani Mohon Tunggu... -

Penulis amatir yang mencoba kiprahnya dalam dunia penulisan artikel yang penuh intrik dengan sesirih kapurnya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Usaha Bunuh Diri Mungkin Bisa Terdeteksi

21 Agustus 2013   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:02 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Admin (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Para penderita depresi berat bisa jadi memikirkan untuk mengakhiri nyawanya di suatu saat.  Hal serupa juga menjadi kondisi kronis penderita gangguan bipolar, dimana emosi negatif yang berkembang terus dapat terjadi tanpa terdeteksi oleh rekan dan kerabat.  Sering terdengar pula betapa kagetnya seseorang yang mendapat kabar bahwa saudara atau temannya melakukan bunuh diri, dan dalam banyak kasus, tidak menyangka bahwa mereka sampai mau berpikir demikian, ataupun baru tersadar tanda-tanda yang selama ini tersirat secara halus ke arah sana. Segala proses berpikir yang terjadi di dalam otak, seringkali hanya dapat terdeteksi dari aktivitas yang tampak pada otak bila kepala dipasangkan reseptor yang memindai secara aktif.  Namun bagaimana kalau seandainya pemikiran untuk mengakhiri nyawa seseorang dapat terdeteksi tanpa harus melalui metode itu, contohnya, dari sampel darah?  Tentu saja hal ini akan menjadi terobosan besar pada pencegahan usaha bunuh diri seseorang, maupun perawatan untuk mengeleminasi keputusan itu. Walaupun tampak terlalu jauh dan sulit dibuktikan, tim peneliti di School of Medicine Universitas Indiana di Indianapolis meneliti hal ini.  Alexander Niculescu III seorang psikiater di sana menyatakan bahwa tidak seperti serangan jantung, usaha bunuh diri tidak menunjukkan tanda-tanda awal kepada dokter dan tidak ada tes seperti kolesterol atau tekanan darah untuk mendeteksi seseorang akan membunuh dirinya.  Peneliti menggunakan istilah biomarker untuk mencari tanda-tanda fisik yang dapat diukur dalam aliran darah untuk menandakan kapan seseorang berada dalam kondisi beresiko tinggi untuk melakukan usaha bunuh diri. Penelitian ini bukan hal baru, secara Niculescu dan timnya telah melakukannya selama sepuluh tahun terakhir, dan sampel yang diambil berasal dari penderita gangguan bipolar yang memiliki kecenderungan mood swing dan mampu berubah dengan cepat.  Dari hasil penyaringan sampel, dikeluarkan daftar kandidat gen biomarker dengan mencari hasil yang memiliki hubungan pada studi database oleh grup lain untuk mencari biomarker pada gangguan bipolar, psikosis, dan ketergantungan alkohol. Setelah melalui banyak penyaringan, ada 5 kandidat biomarker teratas menurut para peneliti.  Salah satunya adalah sebuah protein yang dibuat oleh gen SAT1, yang terlibat dalam stres dan kerusakan sel.  Ekspresi SAT1 sangat menonjol dalam memperlihatkan kondisi mental tanpa pemikiran bunuh diri dan penuh pemikiran bunuh diri, secara jelas meningkat ketika hasil interview subyek sampel menyatakan mereka mengalami pemikiran bunuh diri. Studi oleh grup lain menyatakan bahwa aktivitas SAT1 ditemukan meningkat sebagai respon terhadap berbagai faktor stress seperti racun, infeksi, dan kekurangan oksigen.  Sebagai usahha konfirmasi, dilakukan tes pada sembilan subyek yang meninggal karena gantung diri, luka tembak, atau potong nadi (luka fatal oleh fisik, karena overdosis obat akan merubah proses kimia otak), dan ditemukan tingginya level ekspresi SAT1 pada mereka.  Bahkan jauh lebih tinggi dari semua yang memiliki ide bunuh diri di penelitian sebelumnya, sesuai pernyataan mereka pada Molecular Psychiatry. Hasil ini kemudian diaplikasikan untuk mendeteksi resiko bunuh diri pada studi jangka panjang terhadap subyek dengan gangguan bipolar dan scizophrenia.  Walaupun biomarker hanya menunjukkan sedikit peningkatan, namun cukup signifikan untuk dapat dikenali bedanya antara pasien yang nantinya dirawat karena perilaku bunuh diri dengan yang tidak.  Tim Niculescu menyatakan bahwa prediksi untuk grup penderita bipolar menggunakan biomarker dapat mencapai 80% akurasi, bila digabungkan dengan pengukuran psikologi lain.  Dikarenakan marker ini diduga bukan hanya penanda spesifik untuk kasus bunuh diri, tapi lebih kepada faktor yang mengarah ke fungsi sel abnormal akibat stress, bila SAT1 atau biomarker lain akan digunakan di klinik, peneliti perlu memastikan bahwa mereka dapat mewakili populasi yang lebih besar dan beragam dan mereka perlu dikombinasikan dengan informasi lain.  Penelitian Niculescu didukung oleh Gustavo Turecki, seorang psikiater di Universitas McGill di Montreal, Kanada, yang sebelumnya telah menerbitkan hasil penelitiannya tentang peningkatan produksi protein SAT1 dalam otak pelaku bunuh diri setelah mereka mati. Sumber: nature.com dan sciencemag.org

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun