Mohon tunggu...
Theodore KS Hutagalung
Theodore KS Hutagalung Mohon Tunggu... -

Sayaadalah penulis cerpen, novel, pengamatan atas industri musik, politik dan yang lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Peter f. Gontha yang Saya Kenal

26 Februari 2013   15:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:39 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PETER Frans Gontha (PFG) saya kenal tahun 1984 ketika bersama Eddy Sutanto. Ireng Maulana dan Deded Er Murad (1951 - 2012), saya bergabung dalam kepengurusan Perhimpunan Jazz Indonesia (PJI) pimpinan Indra Malaon Lubis SH (1937 - 1985) yang berkantor di Hotel Sahid. Tapi kami lebih sering berkumpul di kediaman Indra Malaon yang letaknya tidak jauh kediaman PFG. di jalan Patal Senayan Simpruk, Jakarta Selatan.

Dari hasil  obrolan di rumah Indra Malaon tercetus gagasan mendirikan grup musik Bhaskara yang kemudian disambut baik PFG. Indra Malaon memang sengaja membawa embrio Bhaskara itu ke PFG, bukan saja karena PFG sebagai pencinta musik jazz juga dekat dengan kekuasan, keluarga Cendana,  yang diharapkan memuluskan langkah Bhaskara. PFG pun mendirikan Bhaskara Music Production dan menunjuk Eddy Sutanto sebagai direktur badan usaha pendukung grup baru itu.

Semuanya serba lancar bahkan sangat lancar, dengan mudah PFG  memperoleh sponsor tiket pesawat terbang, akomodasi dengan segala fasilitaslainnya ketika Bhaskara akan berangkat  mengikuti North Sea Jazz Festival (NSFJ) 1985 di Den Haag, negeri Belanda..  Satu saja yang menganggu PFG yaitu berita   Kompas hari Sabtu, 22 Juni 1985 berjudul  “Ke North Sea dengan Slogan”, yang mempertanyakaan apa maunya grup jazz ini yang gagah-gagahan mengisi acara jumpa-pers dengan pidato dan  mendirikan perusahaan pendukung.

Saya sependapat dengan berita Kompas, tapi ditepis Eddy Sutanto bahwa sebuah grup musik perlu manajemen, itulah urgensinya Bhaskara Music Production yang dipertanyakan waktu itu. Soalnya professional pengelolaan sebuah grup musik di tanah air manejerialnya sering terabaikan dan dianggap retorika bagi media-massa.

Meskipun berita Kompas bukan saya yang menulis, sebagai contributor berita music untuk Kompas saya merasa PFG menganggap saya ikut "bertangung-jawab", sehingga saya tidak dimasukan dalam rombongan yang berangkat ke Den Haag. Saya menyusul ke NSFJ dengan usaha sendiri,  untungnya sebagai pengurus PJI saya bisa bergabung dengan rombongan Bhaskara yang dipimpin Eddy Sutanto di Den Haag.

Selama mengikuti NSFJ saya  melihat PFG yang berbeda.  Kalau di Jakarta  sebagai vice-president Grup Bimantara Citra dan kerabat putra-putri Presiden Soeharto sangat angker, tidak demikian halnya di Belanda, dia keluyuran "blusukan"  ke sana kemari di Congresgebouw dan bercanda dengan para musisi mancanegara. Kalau Ireng Maulana merentang dan menggulung kabel yang puluhan meter sebelum dan setelah Bhaskara tampil, PFG menjadi roadies dan mengangkat gitar serta bok sound-monitor anggota Bhaskara di atas panggung.

Pendiri dan penyelenggara NSFJ Paul Acket diundang ke Jakarta tahun berikutnya dan berbicara mengenai grup jazz Indonesia terutama Bhaskara di ajang internasional. Dia  berterima kasih pada PFG atas informasinya mengenai musik jazz di Indonesia. Paul Acket ysng menggagas NSJF tahun 1978 tutup usia tahun 1992,  juga adalah pendiri majalah Muziek Express tahun 1956..

Itulah kelebihan PFG yang sekarang bisa dikatakan adalah  maesenas musik jazz Indonesia, menjalin pertemanan dengan tokoh dan musisi musik jazz lokal dan mancanegara. Waktu itu PFG secara pribadi memperkenalkan Paul Acket kepada saya, ternyata dia sudah melupakan berita Kompas yang pernah menganggunya.

Di kediamannya PFG membangun sebuah studio mini, tempat anggota Bhaskara latihan serta merancang lagu-lagu baru untuk masuk studio rekaman,  hasilnya album "Bhaskara 86" yang berisi 9 lagu dan didistribusikan perusahaan rekaman Aquarius disambut hangat pasar yang sedang dilanda lagu-lagu pop manis atau istilah waktu itu pop cengeng. Bhaskara mampu bersaing dan kasetnya terjual hampir 100.000 keping. Barangkali itulah manfaat manajemen  yang dimaksud Eddy Sutanto. Tapi sejak tahun 1996 dia meninggalkan hobi  musiknya dan  mengelola bisnis roti Daily Bread Bakery Café.

Sementara itu  PFG terus menapak jejak jazznya,  mendirikan Jamz Café di Blok M. Café yang langsung menjadi tempat berkumpul penggemar musik jazz dan ada panggung bagi pemusik jazz beraksi. Café ini kemudian pindah ke kawasn Hotel Aston Sudirman. Bhaskara sudah eksis sebagai sebuah grup sudah bisa menghidupi dirinya sendiri. Ketika Bhaskara kembali ke NSJF 1986 dan 1987, PFG memasukan saya ke dalam rombongan.

PFG membawa peniup saxophone Embong Raharjo (1950 - 2001)  mengikuti berbagai kegiatan panggung musik jazz di Anmerika Serikat, Tahun 1994 PFG  mensponsori rekaman Embong Rahardjo Project, dengan produser Michael Collina, pengorbit Sergio Mendez dan George Benson.

Langkah jazz PFG  bersama PJI mendatangkan grup jazz Jepang Casiopea, Shakatak dan Himiko Kikuchi. Pada saat inilah PFG dan Eddy Sutanto berniat membuat konser Whitney Houston (1963 – 2012) di Jakarta, tapi batal karena album "Withney Houston"  selama 14 minggu menduduki puncak anak tangga majalah musik "Billboard", yang dengan sendirinya menaikan rankingnya sebagai penyanyi dan nominal honor konsernya pun naik berkali lipat hingga  diluar jangkauan cashflow PJI.

Terinspirasi dari NSFJ, PFG mendukung Ireng Maulana menggagas Jazkjazz tahun 1988. Sayangnya pelaksanaan  festival ini kurang lancar, selama 20 tahun (1988 - 2008) hanya terselengara 10 kali. Sementara itu PFG menyelenggarakan Java Jazz Festival (JJF) sebanyak 9 kali sejak  tahun 2005 hingga 2013. Dari tahun ke tahun kualitas JJF meningkat, baik dari penyelenggaraan maupun materi acara dan musisi jazz yang ditampilkan.

Dari NSFJ 1985 hingga JJF 2013, selama 28 tahun,  adalah rentang waktu yang cukup panjang bagi konsistensi seorang yang setia menggeluti hobinya dan kemudian mengembangkannya menjadi bisnis berskala internasional. Banyak yang pernah dekat dengan lingkaran kekuasaan dan banyak pula penyelenggara berbagai pertunjukan musik, bedanya PFG mengeluti jazz, dengan sepenuh hati, bahkan ikut beraksi di atas panggung layaknya musisi dan penyanyi jazz yang selama ini diusungnya hingga ke mancanegera . Kalau Jokowi "blusukan" agar bisa bicara langsung dengan rakyat yang hendak dilayaninya,  PFG "blusukan" dan "menjadi"  musisi jazz internasional, sehingga sangat mengenal mereka  yang membuat dia tahu betul menyelenggarakan sebuah festival yang menjadi salah satu yang terbesar di dunia, Java Jazz Festival. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun