Mohon tunggu...
Theodora Simaremare
Theodora Simaremare Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Pre-Clinical Student of Dental Medicine

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Dokter Gigi Vs Tukang Gigi

5 Juni 2024   23:59 Diperbarui: 6 Juni 2024   00:45 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Kingdom Animalia selalu ingin terlihat menarik. Ini tidak hanya dilakukan untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk aspek lain dalam kehidupan, seperti menarik pasangan untuk mendapatkan keturunan dengan genetik terbaik. Contohnya, burung merak membuka ekornya selebar mungkin untuk menarik pasangan. Pandangan evolusi menunjukkan betapa atraktivitas memegang peranan penting dalam sejarah peradaban dunia. Menurut para psikolog evolusi, wajah dan tubuh yang menarik mencerminkan adaptasi yang ditentukan oleh seleksi seksual, bagian dari seleksi alam. Adaptasi ini berevolusi untuk mengeksplorasi nilai pasangan dan keberhasilan reproduksi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika manusia -- yang juga bagian dari kingdom Animalia -- berusaha sebaik mungkin untuk memiliki wajah dan tubuh yang menarik.

Salah satu unsur penting dalam menilai keatraktifan, setidaknya menurut penulis, karena objek keatraktifan berbeda bagi setiap individu, adalah gigi. Gigi adalah salah satu hal pertama yang dilihat orang saat berinteraksi, seperti saat berbicara, makan, atau tertawa. Penelitian menunjukkan bahwa senyum yang menarik, termasuk gigi yang rapi dan putih, dapat meningkatkan persepsi orang lain terhadap kita. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kelton Research pada tahun 2012 menemukan bahwa senyum yang menarik membuat seseorang lebih mungkin dianggap lebih cerdas dan sukses. Peranan penting yang dipegang oleh keindahan gigi menjadi alasan mengapa banyak orang berlomba-lomba untuk memiliki gigi yang bagus dan simetris. Latar belakang ini melahirkan praktik tukang gigi.

Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang tukang gigi, kita perlu memahami perbedaan antara dokter gigi dan tukang gigi. Keduanya tampak serupa tetapi sebenarnya berbeda. Perbedaan paling mencolok adalah latar belakang pendidikan. Dokter gigi berasal dari pendidikan formal S-1 Kedokteran Gigi di perguruan tinggi yang memfasilitasi. Dokter gigi memerlukan waktu lebih dari 4 tahun untuk mendalami ilmu dan praktik sebelum memiliki wewenang untuk membuka praktik. Artinya, dokter gigi bukan orang sembarangan. Mereka dilatih dan dididik untuk mempelajari seluruh aspek gigi manusia, sehingga mereka dapat mengatasi berbagai keluhan dan penyakit gigi pasien mereka. Sebaliknya, tukang gigi tidak menempuh pendidikan formal seperti dokter gigi. 

Ilmu yang mereka dapatkan bersifat non-formal, biasanya turun-temurun. Dari sini, kita bisa melihat dua perbedaan mendasar: ilmu dan izin/wewenang. Dokter gigi wajib memiliki izin praktik dan dilindungi oleh payung hukum yang jelas, tidak seperti tukang gigi yang tidak memiliki izin/wewenang yang dilindungi hukum. Dari segi kesehatan, ini sangat berbahaya karena gigi mengandung banyak jaringan dan saraf penting. Akan sangat fatal jika perawatan dan pengobatan gigi tidak dilakukan oleh ahli. Selain itu, tukang gigi yang membuka praktik ilegal dapat dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 73 dan Pasal 78 Undang-Undang No.29/2004 Mahkamah Konstitusi.

Lantas, mengapa praktik tukang gigi masih ada hingga sekarang dan banyak dipercaya oleh masyarakat Indonesia? Pada tahun 2017, Gusti Rosaline (Oca) merasakan dampak buruk dari praktik tukang gigi saat hendak memasang veneer. Veneer adalah prosedur estetika perawatan gigi dengan merekatkan cangkang tipis pada permukaan gigi. Singkatnya, Oca mendapat rekomendasi dari temannya untuk melakukan veneer. Namun, rekomendasi itu ternyata dari tukang gigi, bukan dokter gigi, meskipun tarifnya sangat murah. 

Awalnya, Oca tidak merasakan apa-apa, sebelum mengalami nyeri dan aroma tidak sedap di mulut. Kasus Oca adalah satu dari banyak kasus serupa yang muncul di publik. Praktik tukang gigi masih eksis karena tarif yang mereka tawarkan jauh lebih murah dibanding dokter gigi. Misalnya, pemasangan behel konvensional di dokter gigi bisa mencapai Rp5.000.000 hingga Rp12.000.000, sedangkan di tukang gigi hanya Rp1.500.000 hingga Rp2.500.000. Perbedaan biaya ini membuat masyarakat dari kalangan menengah ke bawah lebih memilih tukang gigi. Menurut laporan dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), pada tahun 2018 terdapat peningkatan kasus malpraktik gigi yang disebabkan oleh tukang gigi. Sebagian besar kasus ini berkaitan dengan pemasangan behel dan veneer. Fakta ini menunjukkan bahwa praktik tukang gigi masih menjadi pilihan banyak orang karena faktor biaya, meskipun risiko kesehatan yang ditimbulkan cukup tinggi.

Evolusi menunjukkan bahwa manusia selalu ingin terlihat menarik. Manusia cenderung ingin memperoleh rupa ideal yang sering menjadi acuan, seperti wajah putih, badan berotot, payudara besar, dan lain-lain. Tidak terkecuali dengan gigi. Gigi yang putih, rapi, dan simetris menjadi salah satu acuan rupa ideal. Hipotesis ini diperkuat oleh selebriti dan public figure yang rela mengeluarkan banyak uang demi kondisi gigi idaman. Namun, biaya perawatan gigi tidak murah. Setiap orang lahir dengan kondisi genetik gigi yang berbeda-beda. Ada yang lahir dengan gigi tidak rapi dan warna tidak putih. Hal ini bisa juga disebabkan oleh perawatan gigi yang buruk sejak kecil. Kombinasi antara genetik dan perawatan gigi sejak kecil menentukan kondisi gigi saat ini. Banyak yang ingin memiliki gigi ideal tetapi tidak mau mengeluarkan biaya mahal. Ini yang melahirkan praktik tukang gigi sebagai jalan pintas.

Akhirnya, bagaimanapun bentuk gigi kita, kita memiliki hak untuk memperbaikinya melalui perawatan dokter gigi. Saya percaya bahwa untuk mendapatkan gigi indah, kita harus mau mengeluarkan biaya besar. Jika belum memiliki cukup uang, maka berdamai adalah jawaban yang tepat. Konsekuensi dari perawatan di tukang gigi tidak sebanding dengan harga murah yang dibayar. Dampak jangka panjang dari praktik tukang gigi sangat berbahaya, seperti infeksi, gigi palsu tidak pas, dan malfungsi gigi. Meski beberapa orang berhasil merawat gigi mereka tanpa dampak buruk, kita harus memahami bahwa kondisi gigi setiap orang berbeda. Praktik pengobatan dan perawatan pada satu orang belum tentu bisa diterapkan pada orang lain. Gigi mengandung banyak jaringan dan saraf vital. 

Kita tidak boleh hanya mengandalkan ilmu turun-temurun dalam perawatan gigi. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dan pengawasan setelah tindakan. Tukang gigi memang murah, tetapi harga yang harus dibayar untuk menanggulangi konsekuensi di masa depan jauh lebih mahal. Tidak masalah jika kita hidup dengan kondisi gigi yang tidak ideal dan tidak memiliki dana besar untuk dokter gigi. Pada akhirnya, yang paling penting adalah kita bisa menggunakan gigi untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makan, berbicara, dan tertawa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun