Mohon tunggu...
Deo Javid
Deo Javid Mohon Tunggu... -

"..semuanya adil dalam cinta dan perang.." -Sponge Bob

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menemui Kembali Mandela; Sebuah Peristiwa tentang Puasa

24 Juli 2013   11:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:07 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siang hari di tahun 1963, di bawah terik penghinaan dan represi atas ras kulit hitam, Mandela—seorang pemimpin gerakan pembebasan Afrika Selatan—ditangkap. Mandela percaya bahwa perlawanan mengangkat senjata terhadap pemerintah kulit putih adalah hal yang niscaya, maka iapundibungkam. Ia disiksa dan bekerja paksa, hingga tubuhnya tak lagi punya kuasa, hingga kedua matanya rusak. Dalam kondisi tubuh yang tidak merdeka, pikirannya tetap saja tak bisa bungkam, “akulah sang korban,” katanya, “aku berhak membalas dendam”.

Siapa saja akan bersepakat, bahwa berada dalam era kekejaman apartheid, dalam tahanan yang praktis tak pernah diketahui dunia itu, Mandela tak bisa disalahkan sepenuhnya jika berpikir demikian; “dendam bisa mendatangkan kekuatan, dan dendam juga bisa berbicara tentang keadilan,” simpul Goenawan Mohamad dalam risalahnya tentang Mandela. Dan siapa saja—terutama bagi ras kulit hitam ketika itu—akan berharap bahwa ‘dendam’ atas nama keadilan itu akan menjadi sebuah nilai, menjadi pemantik api perubahan pasca Mandela dibebaskan kelak.

Tapi siapa pun akan terkejut (untuk tidak mengatakan kecewa), bahwa fakta ketika Mandela dilepas di tahun 1990, harapan yang dikehendaki terjadi dalam vektor bukan harapan, menelikung tajam, dalam skala yang sangat privat, personal, dalam diri Mandela sendiri. Mandela bebas tanpa membawa dendam, tanpa ‘kekuatan’, bahwa: “Aku tahu orang mengharapkan aku menyimpan amarah kepada orang kulit putih,” katanya, “Tapi aku tak punya rasa itu sedikit pun.”

Ada apa dengan Mandela? Apa yang terjadi dengan fragmen-fragmen memori perih tentang terror, tentang penyiksaan dan tentang pembunuhan? Ketika Mandela kehilangan rasa dendam, bukankah ia juga serta-merta kehilangan kekuatan, kehilangan ‘kuasa’, kehilangan nilai-nilai pembebasan, bahkan—secara substratum (meminjam Nietzsche)—kehilangan “kehendak untuk berkuasa”?

Dalam kurun waktu 27 tahun kerja paksa itu, agaknya Mandela tengah berjuang menjauhkan dirinya dari konsep cogito ergo sum, melepaskan diri dari Aku yang soliter, dan mengosongkan diri, serta mengesampingkan ego dari keangkuhan. Bahkan dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, Mandela menyesali ketika ia dibebaskan, ia tak sempat berpamitan kepada para petugas penjara. Karena baginya, mereka adalah bagian dari sistem yang membuat orang jadi “tawanan kebencian” yang “dikunci di balik jeruji prasangka dan pikiran yang sempit”. Ia pun bersyukur, dan menginginkan agar mereka, dan siapa saja, dapat terbebas dari penjara seperti itu: “Aku ingin Afrika Selatan melihat bahwa aku mencintai musuh-musuhku, sementara aku membenci sistem yang menyebabkan kita bermusuhan.”

Mandela yang bebas itu bukanlah Mandela sebelumnya, yang penuh dendam, amarah dan kebencian. Ia telah menjadi Mandela yang lain, yang baru; menjadi Mandela setelah Mandela. Dan dalam Long Walk to Freedom-nya itu, Mandela telah meruntuhkan dirinya sebagai ‘Aku’ dalam pengertian renaissance, mengalir membentuk tikungan yang pernah dilalui para petapa, dan membebaskan dirinya dari “aku yang menawan kebinatanganku”. Dalam arti tertentu, menurut risalah Goenawan Mohamad, Mandela yang bebas itu adalah Mandela yang telah berubah oleh sebuah puasa panjang, bahkan mungkin dapat dilihat sebagai “jihad” yang besar; jihad melawan egonya sendiri.

Puasa Mandela yang berujung pada sikap memaafkan musuhnya, ternyata, tidak hanya berdampak privat dan asketik, melainkan juga berdampak sosio-politik. Seandainya pemimpin politik yang berniat dan bertugas membangun Afrika Selatan—negeri yang dengan jerih dan sakit diperjuangkannya—itu memutuskan untuk membakar nafsu balas dendam, seandainya ia tidak mencoba menjadi simbol ikhtiar “kebenaran dan rekonsiliasi”, maka barangkali, Afrika Selatan akan menjadi sungai darah dan gurun api.

Mandela bukanlah Nabi, bukan pula Rabi, apalagi malaikat yang sayapnya bau kesturi. Dan cerita Mandela bukanlah sebuah contoh kasus tentang seseorang yang berpuasa di bulan Ramadhan yang Suci. Akan tetapi, cerita Mandela, barangkali dapat dilihat sebagai bingkai peristiwa (dalam sejarah) yang mencerminkan sebuah ‘peristiwa’ yang terjadi dalam diri individu-individu (sebagai subyek) yang berpuasa. Tidakkah dari cerita Mandela, kita dapat menemukan elemen-elemen puasa seperti “pengekangan”, “kewajiban”, “pengorbanan”, “kesabaran”, “pemaafan”, bahkan kita juga diantar untuk menemui kembali esensi dari puasa tentang peristiwa “menahan” dan “mencegah”, hingga “kesalehan individual” dan “kesalehan sosial”?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun