Hari gini, masih banyak saja yang mengklaim kerja keras sebagai simbol keberhasilan. Tidak sedikit yang melakukan romantisasi dengan mengaminkan normalisasi di tempat kerja.
Normalisasi terhadap lembur tanpa batas, selalu standby di luar jam kerja, dan menganggap pekerjaan sebagai pusat kehidupan, dianggap sesuatu yang wajar, bahkan sesuatu yang positif.
Apalagi bila ditambahkan bumbu alasan komitmen dan loyalitas terhadap pimpinan. Ibaratnya, 24 jam jiwa dan raga ini hanya boleh dipersembahkan untuk organisasi tercinta!
Pertanyaannya, apakah ini benar-benar dedikasi, atau justru jebakan yang berbahaya?
Antara Dedikasi dan Eksploitasi, Setipis Tisu
Narasi tentang kesuksesan hanya bisa dicapai dengan kerja keras yang luar biasa, mendorong munculnya budaya kerja tanpa henti atau hustle culture, seolah hidup hanya tentang bekerja dan bekerja.
Slogan serupa seperti “work hard, play later” atau “sleep is for the weak” semakin menguatkan posisi pentingnya bekerja ekstra keras. Padahal, bila ditelaah lagi, budaya ini bisa menjadi bumerang, tidak saja bagi kesehatan fisik, tapi juga bagi kesehatan mental.
Banyak orang merasa bangga ketika bisa bekerja berjam-jam tanpa istirahat atau mengorbankan akhir pekan mereka demi urusan kantor.
Ketika pekerjaan sudah mulai mengambil alih hidup seseorang, hingga mengorbankan waktu istirahat, hubungan sosial kemasyarakatan serta kesehatan, tentu saja ini bukanlah dedikasi, tetapi eksploitasi! Eksploitasi yang dilakukan oleh diri sendiri maupun oleh lingkungan kerja.
Sejatinya, tidak ada yang salah dengan mencintai pekerjaan. Tetapi semangat kerja dan memaksakan diri hanya dipisah oleh garis tipis, setipis tisu.