Kami menatap dari kejauhan, api yang menyala besar di dalam krematorium. Rasa sedih menjalar begitu dalam, menatap jasad sahabat, Â teman dan saudara kami, menuju keabadian.Â
Ngaben—ritual sakral yang mempertemukan kehidupan dan kematian dalam  harmoni yang sempurna. Di sini  saya belajar bahwa hidup hanyalah sebuah perjalanan singkat, dari ada menjadi tiada.Â
Pagi ini, setelah melalui upacara kedinasan singkat di rumah duka, kami menuju krematorium areal Pura Prajati Alak, Kota Kupang. Kami ingin menemani perjalanan sahabat yang telah berjuang bersama kami selama hampir tigapuluh tahun menuju keabadiannya.Â
Krematorium yang berdiri di atas ketinggian itu, menyambut kedatangan sahabat kami. Banten, canang sari, dupa, tirta, bunga dan lain-lain yang digunakan dalam acara sudah disiapkan oleh keluarga dan umat Hindu di Kupang. Semua sudah diatur secara rapi.Â
Adapun upacara Ngaben dipimpin oleh Pinandita Ida Resi Agung Nanda Wijaya Kusuma Manuaba. Rangkaian acara mulai dari Matur Piuning (memohon ijin atau restu kepada leluhur atau dewa, supaya acara berjalan lancar) di Pura Prajapati hingga Ngelinggihang  (menempatkan roh leluhur atau dewa pada tempat suci) dilaksanakan dari pagi hingga sore hari ini.Â
Proses NgabenÂ
Suara gamelan terus berirama, bersama doa-doa yang dilantunkan oleh keluarga dan sahabat. Â Ada kesedihan dalam raut anggota keluarga terdekat, meski mereka berusaha tetap tegar. Kami pun merasakan hal yang sama.Â
Proses kremasi dilakukan oleh petugas khusus. Â Api suci pertama kali dinyalakan oleh anggota keluarga terdekat. Keluarga kemudian diminta untuk duduk menunggu di pelataran krematorium hingga proses berakhir.Â
Satu jam kemudian, pembatas yang diletakkan di pintu kemudian dibuka oleh petugas. Tidak ada lagi tubuh yang utuh, yang tersisa hanya tulang yang sudah mulai hancur akibat panas dari api.
Tidak lama menunggu, api dipadamkan. Keluarga diminta untuk mengumpulkan abu dan sisa tulang yang terbakar untuk mengikuti proses upacara selanjutnya.