Menurut Badan Pusat Satistik (BPS) Gen Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 dan 2012. Mereka adalah generasi pertama yang lahir di era digital dan memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi Z merupakan segmen terbesar dari total populasi Indonesia, terhitung 27,94% (Badan Pusat Statistik, 2021). Gen Z saat ini mulai memasuki dunia kerja dan menjadi bagian penting dari angkatan kerja di Indonesia. Dominasi Generasi Z di dunia kerja juga meluas ke organisasi swasta dan pemerintah, serta berbagai bidang, termasuk perdagangan, perbankan, keuangan, dan banyak lagi lainnya. Diperkirakan, Gen Z akan menjadi mayoritas angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2030. Memahami karakteristik Gen Z sangat penting bagi perusahaan untuk mengelola tantangan terkait dengan perbedaan sikap dan preferensi karyawan terhadap manajer mereka dan praktik Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) organisasi (Dwyer dan Azevedo 2016).
Meskipun Generasi Z (Gen Z) membawa perspektif baru dan keterampilan teknologi yang berharga ke tempat kerja, mereka sering kali dihadapkan dengan stereotip negatif dari Generasi X (Gen X) dan Generasi Y (Milenial). Pekerja Gen X, yang dikenal dengan etos kerja yang kuat dan kesetiaan terhadap perusahaan, sering kali melihat Gen Z sebagai kurang fokus dan kurang loyal. Gen X, yang terbiasa dengan jam kerja panjang dan dedikasi jangka panjang, mungkin merasa frustrasi dengan Gen Z yang cenderung mencari keseimbangan kehidupan kerja dan cepat berpindah kerja jika merasa kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Stereotip ini muncul karena perbedaan dalam cara pandang dan harapan kerja antara kedua generasi. Gen X perlu memahami bahwa loyalitas Gen Z dapat dibangun melalui lingkungan kerja yang mendukung, kesempatan berkembang, dan komunikasi yang terbuka.
Di sisi lain, Generasi Y (Milenial) yang lahir antara tahun 1981 dan 1996, sering kali melihat Gen Z sebagai generasi yang terlalu bergantung pada teknologi dan kurang memiliki keterampilan interpersonal. Milenial, yang tumbuh di era transisi digital dan lebih memahami pentingnya interaksi langsung dan kolaborasi tim, mungkin melihat Gen Z sebagai generasi yang lebih individualistis dan kurang terlatih dalam keterampilan komunikasi tatap muka. Namun, penting untuk diingat bahwa Gen Z telah mengembangkan kemampuan untuk menyaring informasi dengan cepat dan beradaptasi dalam lingkungan kerja yang serba cepat, yang sebenarnya bisa menjadi aset bagi organisasi. Stereotip negatif ini perlu diatasi dengan memberikan pelatihan yang tepat dan menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan berbagai generasi untuk saling belajar dan berkolaborasi secara efektif. Dengan demikian, perusahaan dapat memanfaatkan kekuatan unik dari masing-masing generasi dan menciptakan tim yang lebih kuat dan kohesif.
Strerotip ini muncul salah satu penyebabnya adalah dari didikan orang tua gen Z yang notabene adalah Generasi X tumbuh dalam periode transisi yang penuh dengan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Pengalaman masa kecil mereka yang penuh dengan tantangan, seperti keluarga dengan dua orang tua yang bekerja, resesi ekonomi, dan kemajuan teknologi, membentuk mereka menjadi individu yang mandiri, adaptif, dan pragmatis. Kondisi-kondisi ini juga memberikan mereka nilai-nilai yang kuat dalam hal etos kerja, loyalitas, dan kemandirian, yang mereka bawa ke dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka.sehingga dapat dikatakan Gen X tumbuh di situasi yang tidak senyaman Gen Z. Sebagai orang tua, Gen X seringkali memberikan kenyamanan dan dukungan yang signifikan kepada Gen Z. Mereka menyediakan bimbingandan fasilitas – fasilitas yang sebelumnya tidak mereka dapatkan saat masih kecil. Namun, dalam upaya memberikan kenyamanan ini, ada risiko bahwa Gen X mungkin terlalu memanjakan atau melindungi Gen Z. Terlalu banyak kenyamanan dapat menghambat kemandirian dan pengembangan keterampilan Gen Z. Gen X perlu menyeimbangkan antara memberikan dukungan dan mendorong kemandirian, agar Gen Z dapat mengembangkan kemampuan untuk menghadapi tantangan dan menjadi lebih resilien di tempat kerja. Menemukan keseimbangan ini adalah kunci untuk memastikan bahwa Gen Z tidak hanya merasa didukung tetapi juga mampu berkembang dan berkontribusi secara optimal dalam organisasi.
Untuk mengatasi tantangan ini, Gen Z harus fokus pada pengembangan keterampilan interpersonal dan komunikasi tatap muka, yang sering kali dianggap kurang dalam generasi ini. Selain itu, mereka perlu membuktikan kesetiaan dan komitmen mereka terhadap perusahaan dengan menunjukkan dedikasi dalam pekerjaan dan keterlibatan aktif dalam tim. Dengan menggabungkan kemampuan teknologi mereka dengan keterampilan interpersonal yang kuat, Gen Z dapat membangun hubungan kerja yang lebih baik dan mengurangi kesalahpahaman antar generasi.
Selain itu, penting bagi Gen Z untuk mencari keseimbangan antara kenyamanan yang diberikan oleh orang tua mereka dan kemandirian yang diperlukan untuk sukses di tempat kerja. Mereka harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan secara mandiri, termasuk keterampilan pemecahan masalah dan manajemen waktu. Dengan memanfaatkan dukungan dan bimbingan dari Generasi X, tetapi juga mengambil tanggung jawab atas perkembangan pribadi mereka sendiri, Gen Z dapat menjadi generasi yang lebih resilien dan adaptif. Menyeimbangkan kenyamanan dengan kemandirian akan memastikan bahwa mereka tidak hanya merasa didukung tetapi juga mampu berkembang dan berkontribusi secara optimal dalam organisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H