Irama malam menyuguhkan selaksa ingat pada sang rembulan yang tengah purnama kini. Tinggalah kerinduan menjadi derita hati yang mengekang hasrat tuk jumpa.
Sungguh, sebab awan kelabulah penghalang cinta, menjadi tirai prahara untuk melewati malam tampa cerita kasih dalam deraian mesra. Tak lebih dari sebuah ironi, dalam gundah penantian.
Dingin malam mendesirkan semilir angin bersama bintik-bintik hujan untuk mengekang kehangatan. Sekujur tubuh menggigil.
Kesenyapan menambah hawa lembab di malam yang kian mencekam. Dan semakin menekan psikologi ke lembah rapuh.
Hanya sesekali hati yang berpijak ke bumi mengintip ke balik awan, kepada rembulan yang hingga kini tak tampak. Lama dalam penantian, larut dalam kerinduan. Maka tumpah ruahlah rak-rak ingat di sepanjang jarak mata memandang. Lalu tercecer dari detik ke detik hingga pagi merentangkan garis sejarah.
Terkuak sejumput kenangan dalam digenggaman memori jiwa. Kenangan tentang selaksa waktu yang mengisyaratkan temu demi temu. Hingga padam di muara kekecewaan mendalam.
Terkoyak sudah luka nurani, runtuh harapan berkeping-keping. Tak ada lagi sugesti yang dapat di semaikan untuk membangun benih semangat. Begitu dalam sobekan hati yang tergores prahara mendung.
Tinggalah doa tanpa ada pengharapan, mungkin luka itu ada sampai akhir menutup mata. Dan di pagi hari tiap kalinya, harus berlari dan terus berlari untuk hindari kenyataan.
Yakni kenyataan yang menjadi bulir luka asmara yang menganga ke langit. Luka yang menegadah ke cakrawala sebagai tanda pedih cinta belum kunjung usai. Tak ada lagi materi bumi menjadi penawar, selain peluh persembunyian yang menyiksa jiwa.
Sungguh! adalah sebuah prahara yang digariskan pada jiwa sebagai takdir. Dan sulit diterima secara logis oleh penanggungnya.