Mohon tunggu...
Themmy Doaly
Themmy Doaly Mohon Tunggu... -

Seorang yang biasa-biasa saja. Dan, dalam beberapa hal, sering merasa spesial ketika keluar dari kebiasaan umum. Karena, kupikir, hidup terlalu membosankan dengan penjara di sana-sini. Kenapa kita tak boleh bebas melakukan segala hal yang disenangi? Ya, dalam permainan kartu, Joker menjadi spesial karena dia bukan bagian dari hati, wajik, kriting dan skope. Joker melampaui itu semua. Joker adalah Joker.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Limbo

4 Mei 2013   01:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit gelap, tapi belum terlalu suram, karena jalan masih diterangi bintang dan lampu kota. Sementara itu, sepeda motor keluar dari lorong sempit berbatu. Blaze menungganginya dengan penuh konsentrasi. Terlihat jarum spidometer menunjukkan 20 km per jam. Percakapan sederhana. Suara datar-datar.

Memasuki jalan raya, kecepatan bertambah: 40 km per jam. Kendaraan bermotor saling-silang. Suara mulai sayup, campur-baur. Ucapan Blaze makin kabur ditiup angin, ditubruk kendaraan bermotor atau singgah di pepohonan pinggir jalan.

Visualisasi agak longgar. Motor punya kesempatan lari lebih kencang lagi. 60 km per jam. Kini aku melihat di kaca spion, sepasang matanya mengawasi mobil yang seakan menghadang laju sepeda motor milik Blaze. Kecepatan tak berkurang, bahkan ketika motor berjarak sejengkal dengan kendaraan lain.

Bibirku diam, tak bersuara, tapi tidak dengan otakku. Ada ketakutan dan ketegangan yang percuma dijelaskan secara verbal. Barangkali aku sedang berdoa. Semoga mantra-mantra surgawi bisa tepat sasaran, tak terhalang kencang angin dan kecepatan motor.

***
Yang terlihat hanya cahaya putih. Silau. Mataku sampai terpejam dibuatnya. Ketika terang itu mulai redup, aku menyaksikan bidadari atau malaikat atau sejenis itu, yang biasa muncul di film-film Hollywood. Pirang, tinggi semampai dan berbody gitar Spanyol. Cantik. Tentu saja perempuan.

Tarian dan senyum yang diumbarnya sudah pasti ditujukan untukku. “Hai, Them!” Perlahan didekatkan tubuhnya, dengan tangan yang mengulur, seperti mengajakku ke suatu tempat. Walau belum mengenalnya, kupikir tak buruk bertualang dengan gadis secantik dia.

“Tapi, kita belum berkenalan, setidaknya aku belum tahu namamu - meski kau sudah. Rasanya itu tak adil, bukan?”

“Kamu terlalu banyak nonton film, Them. Kenapa aku perlu nama, sementara aku bukan sosok yang sering ditemui dan disapa. Bahkan, wajahku ini kamu konstruksi dari kotak elektronik bernama televisi. Terserah, kamu memanggil apa, tak ada artinya untukku.”

Jelas aku bingung dengan pengakuan barusan. Meski nada bicara terdengar ramah, namun tak nampak kesan bersahabat dari makhluk cantik ini. Tangannya yang masih terulur dengan cepat kutangkap. “Baiklah, aku akan memanggilmu Peri, supaya percakapan kita bisa berlangsung lebih ringan.”

Sekarang, kami sudah bergandengan tangan. Tanpa kusadari, ia telah mengangkatku hingga ke langit, tanpa rasa takut sedikitpun. “Bagaimana rasanya terbang sambil menyentuh awan?” Peri bertanya tanpa menatap wajahku. Sulit mendeskripsikan tindakannya: di antara keramahan laku dan kesombongan kapabilitas.

“Mungkin kau bisa berikan cemilan dan segelas soft drink? Biasanya, pramugari memberi layanan ekstra untuk penumpang,” aku coba menggodanya, namun tak digubris. Mungkin ia terlalu sibuk berenang di udara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun