Hari minggu adalah hari yang paling tepat untuk bangun lebih siang, setidaknya untuk orang-orang di kontrakan ini. Sebab, tiga orang di dalamnya selalu melewati malam minggu dengan meneguk cap tikus.
Tapi, ada yang berbeda dengan hari minggu ini. Meski semalam beberapa orang mabuk berat, namun sudah terlihat aktifitas sibuk di bagian dapur. Ada api, ada asap. Dan, selalu ada penjalasan terkait kejadian-kejadian tertentu.
Maxi, setelah merasakan makan besar di dalam mimpi, mendadak bangun karena kebelet pipis. Ia baru sadar, aroma dari dapur adalah sebab mimpi rakusnya itu. Ketika melihat jarum jam menunjukkan pukul 7, ia merasa semakin tak beres. Tak biasa.
Sambil menenteng rasa penasaran, ia berjalan menuju dapur – yang kebetulan harus dilewati sebelum sampai di kamar mandi.
“Than, ngapain, lu?” Maxi bertanya sambil mengucek-ucek matanya.
Ethan merasa pertanyaan itu jadi semacam bukti bahwa Maxi tidak terlalu mempercayai apa yang dilihat matanya. Sedikit aneh, memang. Tapi, barangkali hal itu sering terjadi pada orang yang sedang meraih-raih kesadaran secara menyeluruh.
“Main basket!”
“Ye, maksud gue, tumben lu masak pagi-pagi begini!”
“Oh… Sepupuku dari Surabaya mau datang sekitar sejam dari sekarang. Trus, sebagai sepupu yang baik, aku harus siapin sarapan buat dia.”
“Hmmm”
“Eh, dia boleh nginep di sini, ya! Barang seminggu, lah!”
“Cewek atau cowok?”
“Kalau cewek kenapa memangnya?”
“Cantik nggak?”
“Yaaa.. Sayangnya dia cowok!”
Mendengar jawaban terakhir, Maxi langsung melanjutkan perjalan ke arah kamar mandi. Ia tak memberi jawaban pada pertanyaan Ethan sebelumnya: boleh atau tidak. Namun, “tidak berkata tidak” diyakini Ethan sama dengan “ya”.
Setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi, Maxi ingin meneruskan mimpi yang terpenggal barusan. Ia tidak begitu peduli dengan aroma masakan yang berasal dari aktivitas Ethan di dapur. Matanya tak begitu kuat melek sepagi ini.
“Than, kalau sepupu lu dateng, suruh tidur aja di kamar lu. Jadi, kita bisa tidur sekamar, deh!”
***
Tok... Tok… Tok
Terdengar suara ketukan. Ethan yakin sepupunya sudah tiba di depan rumah, setelah berkali-kali meminta petunjuk jalan lewat ponsel. Beruntung, ruangan yang jadi sasaran pembersihan telah berhasil dilumpuhkan. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu, Tito nampak tak sabar menunggu.
“Woooy, bro!”
Ethan langsung disambar begitu keduanya bertatapan, barangkali karena rasa kangen yang begitu mendalam. Ia dan Tito nyaris empat tahun tidak bertemu. Waktu yang relatif lama bagi mereka - yang telah tumbuh dewasa bersama sejak masa kanak-kanak.
“Jancuk tambah ganteng aja kamu, Than!”
“Makasih, cuk, makasih. Tapi jangan terlalu keras gini dong meluknya. Kayak homo aja!”
“Oh, sory, sory.. Aku terlalu emosional!”
Setelah melewati sesi kangen-kangenan, Ethan mempersilahkannya masuk dan meletakkan barang bawaan Tito di kamarnya. Mereka lalu sarapan sambil berbasa-basi dan saling menanyakan kabar masing-masing.
Ethan menjelaskan perihal tetek-bengek di kontrak itu, juga menceritakan keberadaan dua orang lain yang tinggal bersamanya – Maxi dan Jan – yang masih menyusuri mimpi. Tiga orang di situ tumbuh dewasa dari latar sosial yang berbeda, dan merasa cocok saat bertemu di dalam kelas. Maxi sejak lahir hingga lulus SMA menghabiskan waktunya di Jakarta. Sedangkan, Jan adalah seorang putra daerah Minahasa tulen.
Sementara itu, kedatangan Tito diketahui penuh dengan ketidakwajaran. Alasannya, hanya boring pada aktivitas kampus. Yang lebih menghebohkan adalah di saat ia mengatakan telah menjual gitar serta bass di studio pribadinya – yang terselamatkan hanyalah drum kesayangan – demi sebuah petualangan aneh.
Baru diketahui pula, sebelum mengunjungi Manado, sepupunya itu telah singgah di Bali lebih dulu. Tak jelas maksud kunjungan itu. Ia hanya memperoleh penjelasan, ketika Tito berada di sana, kontrakan Eby – sepupu yang lainnya – menjadi sasaran inap.
“Oh ia, aku bawa ole-ole dari Bali.”
Tito bangkit dari meja makan, lalu menuju kamar untuk mengambil sesuatu di dalam tas. Di wajah Ethan tergambar jelas raut penasaran. Ia memasang rokok sebagai instrumen mengurangi rasa yang tak menyenangkan itu. “Nihhh!!!”
Menyaksikan ole-ole yang dibawa sepupunya itu, Ethan hanya bisa menggaruk-garuk mata. Ia sama sekali tak paham jalan pikiran Tito dan benda yang ada dalam tas plastik itu.
“Itu namanya magic mushroom.”
Karena raut wajah Ethan yang makin bingung, maka Tito dengan sabar menjelaskannya. Magic mushroom, demikian Tito menuturkan, berasal dari jamur tai sapi. Sejak jaman dulu, jamur ini sering digunakan para seniman untuk menstimulus inspirasi mereka.
“Aku nggak ngerti! Jamur tai sapi yang mendatangkan inspirasi?”
“Ya, supaya ngerti, rasain sendiri!”
***
Awalnya jelas menjijikan untuk dibayangkan. Bagaimana bisa sepupunya merebus jamur yang tumbuh di atas tai sapi dengan wajah berbinar-binar? Namun, tak ada upaya perlawanan. Kali ini, Ethan hanya terdiam dan menuruti segala yang diperintahkan Tito.
Karena tak ingin merasakan bingung seorang diri, ia membangunkan dua orang lain. Sudah jam 12 siang – waktu yang bagi Ethan cukup untuk membuyarkan mimpi kedua teman sekontrakannya.
Setelah Maxi dan Jan bergabung di dapur, ia mulai memperkenalkan mereka dengan Tito. Lalu, menatap sesuatu yang kini telah dituangkan ke dalam empat gelas berbeda.
Jengkel. Dibangunkan sepagi ini hanya untuk mendengarkan demonstrasi jamur tahi sapi. Jan tak bisa menutupi rasa kesalnya pada Ethan dan sepupunya. “Cukimai. Jauh-jauh dari Surabaya deng Bali cuma mo kase jamur tai sapi for torang? Di ‘ta pe kampung, sapi cuma injang-injang ni barang.”
“Anggap saja ini ajang perkenalan. Toh, hasil alam yang begitu melimpah di kampungmu tidak pernah dimanfaatkan! Dan lagi, ini tak sejijik yang kau dengar, sobat. Bukankah, siapapun akan risih mendengar ‘cap tikus’ tapi merasakan sensasi yang dahsyat ketika meminumnya? Begitu juga dengan ‘jamur tai sapi’!” Tito berusaha menjelaskan keraguan beberapa calon penikmat magic mushroom barusan. Juga mengiklankan keunggulan yang dimiliki jamur ini, seperti efek halusinogennya.
“Berarti ni minuman biking mabo, kang?” Jan kembali bertanya pada Tito.
“Nggak tepat diberi istilah mabuk. Saya lebih suka menyebutnya ‘on’ atau ‘high’. Nah, sudah, peraturan pertama dilarang banyak tanya. Peraturan kedua, yang sama pentingnya, nikmati saja permainan ini.”
Itu adalah perintah dari Tito. Dan, perintah selalu jadi sesuatu yang tak disepakati tapi harus diikuti. Biasanya, ketiga orang dalam kontrakan itu menyatakan penolakan dan melakukan aksi perlawanan. Hari ini pengecualian.
Lima menit setelah mereka meneguk habis jamur yang telah dicampur dengan kopi, badan masing-masing orang mulai terasa lemas. Tak banyak yang bisa dilakukan selain menanyakan pada sinterklas yang membawa hadiah tadi.
“Aduh, To, kiapa ini?” Jan bertanya dengan begitu cemas.
“Sudah jangan banyak tanya. Nikmati saja. Kita akan segera masuk dalam dunia permainan!”
… Beberapa bulan kemudian
Barangkali sudah nyaris enam bulan lewat. Tapi, ada yang berbeda dari laku tiga penghuni kontrakan itu. Mereka mulai dikenal dengan sebutan The Mushroomers. Nama itu, dideklarasikan ketika mereka manggung di kampus secara spontan dan bingung menentukan nama yang harus dipakai. Pentas seni hari itu adalah penampilan perdana ketiganya dalam sebuah grup band.
“Kalian main, yah! Acaranya santai aja, kok. Kan, cuma orang-orang dalem!” ajak Ela, panitia yang juga teman sekampus tiga orang kacau itu.
Ajakan barusan justru menimbulkan ketegangan, karena kondisi “tiga serangkai” sedang dalam pengaruh magic mushroom. Tak ada seorangpun yang mengiyakan ajakan itu, namun tak seorangpun juga yang melakukan penolakan.
“Nama bandnya apa, dong?”
Mereka bingung. Dan coba menjelaskan pada Ela, bahwa mereka sedang berada dalam kendali magic mushroom. Tapi, penjelasan yang berantakan itu tak bisa diterima dengan baik oleh lawan bicaranya. Ela hanya menanggapi santai dan tetap mencatatkan band mereka sebagai salah satu pengisi acara. “Santai ajalah! Gue juga pernah ngerasain tu barang, kok. Ya udah, pas The Mushroomers dipanggil kalian langsung aja naik ke atas panggung. Okeh!”
Akhirnya, di hari itu, The Mushroomers tampil untuk pertama kali di hadapan publik. Masing-masing mengambil posisi sesuai keahlian: Ethan (Gitar/Vocal), Maxi (Bass) dan Jan (Drum).
Sorakan penonton mulai membahana, seakan tak sabar menantikan aksi tiga orang yang cukup familiar di kampus itu. Maklum, tiga orang di atas panggung – yang kini dikenal dengan nama The Mushroomers – adalah gerombolan kacau dalam banyak hal, misalnya saja: kuliah, ide dan penampilan. Tapi, tak banyak yang tahu bahwa para personil The Mushroomers sedang berada di dunianya masing-masing. Dunia yang lepas dari jangkauan alam sadar.
Di atas panggung, Jan memukul drumnya dengan begitu pelan. Nyaris tanpa tenaga. Keringat terlihat deras membasahi wajah. Setelah itu, ia terdiam untuk beberapa menit. Tak jelas apa yang tercermin di mata dan pikirannya.
Ethan dan Maxi juga merasakan hal yang sama. Alat musik petik tak dimainkan sesuai fungsinya. Mereka berdua lebih nampak seperti ibu yang meminang bayi daripada dua orang musisi.
Suasana hening berlangsung beberapa saat. Penonton kebingungan dengan yang mereka saksikan. Panitia yang sigap, langsung mengajak ketiganya turun panggung.
Itu sepenggal kisah bagaimana nama The Mushroomers mulai melekat pada ketiganya. Lantas, apa yang dipikirkan para personil band yang tidak sukses pada debut pertama mereka?
Ethan menuturkan, dalam imajinasinya, gitar itu berubah menjadi AK-47 – senjata yang biasa digunakan ketika bermain counter strike. Sedangkan, penonton yang berada di hadapannya mendadak beruba jadi alien-alien mengerikan. Ketakutannya terlampau besar. Di kepalanya terlintas penggalan art of war-nya Tsun Tzu, “Jangan bertarung dengan lawan yang lebih kuat darimu”.
Beda soal dengan bayangan Maxi. Di panggung itu, ia merasa tidak sedang memegang bass. namun menggendong bom yang segera meledak ketika ia menjatuhkannya. “Banyak orang berharap gue nggak jatuhin barang brengsek ini!”
Jika imajinasi merupakan sebuah mainan, maka bagi Jan, mainan hari itu adalah yang paling tidak manusiawi. Ia tak tega menggebuk drum, karena ketika pertama kali dipukulnya terdengar alat ketuk itu bersuara “Ampun, om. Ampun, om!” Magic mushroom memberi roh pada benda mati dan bisa merasakan sakit saat dipukul seperti halnya yang dirasakan manusia, “Kita rupa da bage papancuri, noh. Mar ni barang bilang dia nda pancuri apa-apa. Kita ley, waktu itu rasa, kita nda punya barang bukti. Nyanda tega kita bage dia terus-terus!”
Ada sesuatu berbeda ketika mereka mengkonsumsi jamur ini. Sesuatu yang berada di luar akal sehat. Dan, ketiganya senang dengan keadaan seperti itu. Tentu saja, mereka mesti berterima kasih pada Tito – pembawa sukacita yang dirasakan hingga hari ini. Sebab, selama seminggu Tito menginap di kontrakan mereka, tak ada seharipun yang dilewatkan percuma. Masing-masing mulai menelusuri lebih dalam tentang magic mushroom. Tito, sebagai guru, mengajarkan cara memperolehnya lewat praktik langsung di lapangan. “Learning by doing,” kata sang guru.
Jelas, Tito tidak sempat mengunjungi beberapa obyek wisata di seputaran Manado. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kontrakan. Dan, perjalanan ke Manado jadi seperti proyek doktrinisasi, atau katakanlah, mushroomisasi kontrakan. Yang jelas, Tito berhasil mentransformasi aktifitas malam minggu di sana. Tak ada lagi cap tikus. Tak ada lagi mabuk – karena mereka lebih suka menyebut istilah high atau on.
***
Tak ada yang lebih menarik di siang hari daripada secangkir kopi panas. Di kampus, setelah jam kuliah berakhir, Ethan, Maxi dan Jan, selalu menuju kelas kedua: kantin tante Ola. Hanya di situ, mereka bisa ngobrol hingga malam dengan membayar tiga ribu rupiah, atau harga segelas kopi.
Dalam hal lokasi meja, ketiganya begitu predictable. Mereka seperti penghuni meja yang maden. Meski tak tertulis, namun tiap orang yang duduk di meja itu, selalu memilih pindah ketika the mushroomers datang. Entah kenapa.
Di meja segi empat itu, tak ada kebosanan bercakap. Padahal, sejak dari kontrakan, kampus hingga kantin, waktu selalu dihabisi bersama. Tapi, topik-topik diskusi secara alamiah direproduksi. Tak pernah habis stok berbicara. Mungkin ini yang membedakan pertemanan dengan proses produksi barang.
“Hey, the mushroomers! Aku ikutan gabung, ya!”
Ela langsung mengambil posisi duduk di sebelah Jan. Salah seorang yang paling bertanggung-jawab pada popularitas the mushroomers belakangan ini. Ia jadi salah satu yang paling penasaran dengan jamur aneh itu. Walau mengaku, pernah beberapa kali mengkonsumsinya, tapi tak mersakan seperti yang mereka rasakan.
Namun, the mushroomers tak menggubris cerita-cerita Ela. Mereka lebih senang dituduh sebagai grup eksklusif daripada harus membicarakan hal tertentu dengan orang yang belum terbukti bisa dipercaya. Termasuk Ela – yang begitu bersemangat untuk melewati malam minggu bersama Ethan, Jan dan Maxi.
“Ayolah, sekali ini aja! Atau kalian cari, nanti aku beli, deh!”
“Asal jo ngana pe bibir itu. Ngana kira, kita rela mengkomersilkan benda mulia itu? Nyanda mungkin!” jawab Jan dengan enteng. Pernyataan yang sekaligus dibenarkan dua orang lainnya.
Wajah Ela sekejap jadi seperti baju yang belum disetrika. Namun, ia belum menyerah juga. Meski, berkali-kali ketiganya berkata tidak, ada jurus yang akhirnya meluruhkan the mushroomers.
“Kalian bertiga, kan, punya masalah yang sama.. Maksudku, nggak ada salahnya dong, kita saling bantu. Aku bisa beresin absensi kalian yang berantakan itu, dan kalian bisa sekali aja berbagi magic mushroom. Gimana?”
Sepakat.
Malam minggu kali ini tidak lagi dirayakan oleh tiga orang saja. Kontrakan ketambahan satu orang lagi: Ela. Dan, akan menghadirkan cerita yang tak terlupakan dalam hidup mereka semua.
***
Jam 7 malam, seperti yang sudah dijanjikan, The Mushroomers dan Ela berkumpul di ruang tamu. Jamur yang ditunggu-tunggu sudah tercampur dengan beberapa bungkus coffee mix. Ela nampak berseri-seri wajahnya, namun tetap mengutarakan penyesalan.
“Ah, seharusnya kita cari sama-sama. Minimal, aku bisa rasain seni panen jamur di atas tai sapi.”
“Uda,” sela Maxi sambil mengarahkan wajahnya ke gelas di hadapan mereka, “Nikmatin aja. Dan, inget, dilarang keluar ruangan. Itu kesepakatan di kontrakan ini, pas mengkonsumsi magic mushroom!”
“Butul itu!” sambung Jan cukup tegas, “Trus, jangan bikin repot! Ini jamur akan bereaksi dalam waktu sekitar 5 menit, dengan efek sekitar 6-8 jam. Jadi kalau rasa nda mampu, misalnya ada acara dalam waktu dekat, kita sarankan pulang jo!”
“Belum selesai. Mungkin, selama ini yang kamu saksikan hanyalah ekspresi-ekspresi menyenangkan dari kami bertiga. Tapi, kami juga pernah merasakan paranoid. Itulah sisi menarik magic mushroom. Kita masuk dalam dunia lain tanpa skenario. Dan, apapun efek yang akan dirasakan nanti, cukup pahami aja dari benda menjijikkan bisa tumbuh sesuatu yang luar biasa. Ya, karena efek ‘Halusinogen’ adalah sajian khas dari magic mushroom!” Ethan mengucapkan kalimat-kalimat itu bagai orasi Socrates di alun-alun Athena.
“Iya, deh, sepakat,” lalu Ela mengangkat gelasnya tinggi-tinggi “mari kita bersulang”. Ketiga orang lain mengikuti gerak tangan “kader” baru itu.
Merekapun meminum coffee mix-magic mushroom.
***
Empat orang di ruangan itu, merasakan lemas yang tak tertahankan. Mereka harus mengakui keterbatasan sistem organisme tubuh saat menghadapi stimulus-stimulus dari luar, terutama zat-zat yang disebarkan magic mushroom ke dalam tubuh mereka.
Windows Media Player sudah dipersiapkan untuk menyanyikan lagu yang bisa membuat mereka merasa tenang, merasa senang. Ethan, Jan dan Maxi terlihat begitu menikmati dunia mereka. Lain halnya yang dirasakan Ela. Tak banyak suara yang ia keluarkan. Barangkali, ia sedang mengkhayal.
Sesekali terdengar tawa yang sulit dijelaskan sebabnya. Semua mengalir begitu saja. Beberapa hal bisa jadi lucu. Beberapa hal bisa juga menjadi begitu mengerikan. Tak ada yang bisa ditebak ketika berada dalam pengaruh magic mushroom.
“Eh, eh, liat!!” telunjuk Jan diarahkan pada kalender bergambar pose seksi selebritis Indonesia, “Kiapa Agnes jadi kekar bagitu, kang?”
Tawa meledak. Hal konyol terhubung di antara mereka. Nada terbahak-bahak yang tak biasa muncrat dari mulut ketiga orang itu. Nyaris 2 menit tak putus.
“Aih, aih…” kali ini giliran Ethan yang melihat penampakan aneh di kalender itu, “Agnes kok keluar kumis? Eh, dada dan keteknya berbulu!”
Ketiganya tak mampu lagi menahan tawa yang terlepas dari kendali. Bahkan, mereka mesti bergulung-gulung di lantai untuk menahan rasa keram di bagian perut akibat visualisasi yang selalu nampak konyol.
Tapi, koneksi itu tidak dirasakan Ela. Dari dinding kontrakan yang bercat putih, ia menyaksikan darah-darah menetes. Dan, tiga orang lain yang sedang terbahak-bahak seperti sedang menertawakan keberadaannya. Mencekam. Sesekali, terlihat makhluk-makhluk aneh berterbangan di udara. Nyamuk, misalnya, mengambil bentuk mengerikan: berukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa, bergigi taring dan mirip mutan di film-film holywood.
“Aduh, serem banget, sih! Kok semuanya jadi pada jahat begini!” Ela merasa cemas pada apa yang dilihat dan dirasakannya.
Tak ada yang menyaksikan dan mendengar keluhan itu. Dunia mereka terpisah: tiga orang di satu sisi dan Ela di sisi lainnya. Keadaan ini berlangsung nyaris selama tiga jam.
Keadaan membaik dalam beberapa saat. Ini yang mereka istilahkan “drop”. Tak akan lama, karena setelah ini mereka akan masuk ke bagian lain.
“Ampun, ampun.. Kapan ini berakhir?” Ethan berkata dengan nada lelah, sambil memegang perutnya yang menegang – akibat tawa selama beberapa jam. Namun, ada kepuasan tersendiri untuknya… dan untuk dua orang lain.
Berbeda dengan Ela. Keringat di wajahnya seperti butiran jagung. Ia mendapat hadiah yang tak pernah diharapkannya: boneka Chucky – yang bisa berbicara dan berbuat jahat, bahkan membunuh.
“Jam berapa sekarang?” Jan bertanya, entah pada siapa.
“Kayaknya jam sepuluh lewat, deh,” jawab Maxi, “Ini jadi tiga jam paling lama dalam hidup.”
“Berarti, masih belum separuh jalan. Masih ada lima jam lagi – lima jam paling lama dalam hidup,” kembali Ethan mengungkapkan perasaannya.
Raut wajah Ela berubah. Terlihat gelas retak, siap pecah, di matanya. Dan, permainan pada tahap berikut segera dimulai. Ela menangis. Tiga orang lain dibuat bingung menatap ekspresi barusan.
“Kenapa, La?” Ethan, Maxi dan Jan melemparkan pertanyaan dengan perasaan yang acak.
Tak ada jawaban. Ela masih menangis untuk beberapa saat, dan tak memerlukan bujukan. Keadaan ini membuat tiga orang yang sebelumnya masuk dalam dunia tawa, berbalik 180 derajat. Mereka mulai tercebur dalam dunia misteri yang sejak beberapa saat lalu diselami Ela.
Detak jantung empat orang dalam ruangan, terdengar lebih keras dari alunan musik yang diputar sedari tadi. Pikiran mereka dipenuhi beragam pertanyaan. Dunia yang sebelumnya berwarna-warni, kini menjadi hitam-putih belaka.
“Jangan ganggu aku, dong!” ujar Ela sambil menangis.
“Emangnya, siapa yang gangguin lu, sih?” Maxi tergesa-gesa bertanya karena panik.
“Itu, tuh, makhluk yang berdiri di pintu. Serem banget!” Ela menunjuk ke arah pintu, namun tidak menjelaskan secara detil sosok yang dilihatnya. Hal ini yang membuat visualisasi semua orang dalam ruangan itu menjadi beragam. Hanya satu kesamaannya: sosok menyeramkan.
Yang jelas, “makhluk yang berdiri di pintu” dikonstruksi sesuai daya khayal masing-masing orang, tentang sesuatu yang mengerikan.
Ethan menyaksikan ular berkepala manusia. Jan melihat siluman menyeramkan yang sering digambarkan di kanvas oleh seorang paranormal di acara dunia lain. Maxi menatap balon bermata, berhidung, bermulut dan bertelinga – karena ia phobia balon. Ela sendiri, belakangan mengaku, melihat kuntilanak menatapnya seakan ingin membunuh – khas film-film horor di Indonesia.
Mereka menyatu dalam takut. Terlebih lagi, takut andai terjadi sesuatu yang jauh lebih buruk dari ini, misalnya saja, bila salah seorang dari mereka tak mampu lagi menahan paranoid lalu memilih bunuh diri.
Tak ada yang bisa merasionalisasi keadaan, atau yang berusaha menyadarkan satu sama lain, bahwa mereka sedang terpengaruh magic mushroom, sehingga segalanya jadi kembali membaik untuk beberapa jam ke depan. Mereka lebih mempercayai apa yang dilihat, didengar dan dirasakan saat ini.
Dalam ketakutannya, Ela mendengar suara-suara yang begitu menyeramkan, namun tak bisa dijelaskan. Suara kipas angin, suara kaki melangkah di luar rumah, suara musik, suara angin, dan banyak suara lainnya, menyatu dan terdengar begitu jelas – namun pada saat bersamaan – juga begitu acak.
Tak tahan dengan keadaan, Ela melanggar peraturan dan membuat tiga orang lainnya melakukan hal serupa. Ia membuka pintu dan lari meninggalkan rumah. Untuk beberapa saat, tiga orang yang tersisa di kontrakan terlihat bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
“Hey, dia lari!” seru Jan pasrah.
“Waduh, mau ke mana dia?” Maxi bertanya dengan penuh kebingungan.
“Ayo kejar, jangan sampai di kenapa-napa. Kita harus bertanggung-jawab kalau sesuatu yang buruk terjadi!” Ethan bangkit, berlari lalu mengajak Jan dan Maxi untuk mengejar Ela.
Hingga… yang tersisa di kontrakan hanyalah sepi.
***
Di jalan, tiga orang yang lagi high itu, kebingungan mengendus jejak. Cepat sekali Ela menghilang. Dan, malam sudah terlaru larut, bukan saat yang tepat untuk keluar rumah – bisa saja mereka bertemu dengan orang mabuk yang siap mencari-cari masalah. Atau mereka “menganggap” orang mabuk sedang mencari masalah. Atau mungkin juga, semua orang yang melintas “dianggap”sebagai orang mabuk yang mencari-cari masalah.
Tapi, pencarian harus terus dilakukan. Mereka tak bisa membiarkan Ela menghilang begitu saja. Masalah akan bertambah runyam andai orang tua, pihak kampus serta kepolisian mengetahui hal ini. Di kepala, terlintas tuntutan yang bermacam-macam, karena dugaan kejadian yang juga bermacam-macam.
Sejumlah tempat ditelusuri dengan hasil nihil. Beberapa teman dekat Ela dihubungi, namun tak satupun yang mengetahui keberadaannya. Nampaknya, mereka mesti berusaha lebih keras lagi untuk mencari anak yang hilang itu.
“Aduh, kiapa deng pimana tu Ela, kasiang?” Jan bertanya sambil mengeluarkan air mata dan suara putus asa. Ia merasa begitu gugup malam ini. “Seandainya gue tahu, nggak mungkinlah kita kebingungan begini!” sambil menudungi kepala dengan dua tangan, Maxi terkesan jengkel pada pertanyaan tadi.
Waktu berjalan lambat, seakan memberi kesempatan pada mereka untuk menikmati kebingungan ini. Seperti kedua temannya, Ethan juga merasakan kepasrahaan yang serupa. Ia menyesal karena lalai mencegah hal yang tidak seharusnya terjadi. “Sumpah. Ini terakhir kalinya party dengan orang lain!”
Mereka akhirnya dihinggapi lelah. Tak mungkin lagi meneruskan pencarian dalam keadaan seperti ini. Sehingga, diputuskan untuk kembali melakukan pencarian di saat matahari telah menempati takhtanya. Sekarang jadi waktu yang tepat untuk pulang ke rumah, dan menanti apa yang akan terjadi beberapa saat ke depan.
Namun, tak seorang pun di antara mereka yang bisa mendapatkan mimpi. Perasaan cemas berlebih seakan mengganjal mata dan membuat pikiran mereka tidak berhenti berputar. Ela tak kunjung memberi kabar.
… Keesokan harinya
“Sory, kemarin bikin kalian repot. Tapi sama sekali nggak ada maksud seperti itu. Keadaan jadi kacau dan tak terkontrol. Aku memilih pulang ke kos – tempat yang aku rasa paling aman dan paling nyaman. Maaf, ya, teman-teman!” pesan itu muncul di ponsel masing-masing personil The Mushroomers.
Meski awalnya merasa kesal, namun mereka bersyukur keadaan yang buruk tidak menimpa Ela. Dan, mereka bisa melanjutkan tidur hingga sore hari – kali ini mereka tidur di ruangan yang sama, ruang tamu.
“Ini terakhir kali ta bage mushroom!” kata Jan.
“Gue juga!” sambung Maxi, tanda menyepakati perkataan Jan.
“Aku berharap juga begitu…” Ethan merasa pesimis dengan perkataan keduanya.
… Seminggu kemudian
Jan melempar duit ke atas meja, “Sepuluh ribu cari par!” sekaligus menandai sabtu ini mereka kembali pada aktivitas semula. “Mari jo torang ba paket!”
Minuman beralkohol, khas Minahasa.
“Cukimai. Jauh-jauh dari Surabaya dan Bali cuma membawa jamur tai sapi untuk kita?! Di kampung saya, jamur ini hanya terinjak-injak oleh sapi.”
“Berarti minuman ini bikin mabuk?”
“Aduh, To, kenapa ini?”
“Saya seperti sedang memukul pencuri. Tapi barang ini (drum) bilang, dia tidak mencuri apa-apa. Saya juga merasa, waktu itu, saya tidak punya barang bukti. Jadi, tak tega memukulnya!”
“Asal saja kalau bicara. Kamu kira, saya rela mengkomersilkan benda mulia itu? Tidak mungkin!”
“Aduh, kenapa dan kemana, sih, Ela?”
Istilah ba paket digunakan ketika cap tikus dicampuri sp*ite dan teh botol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H