Kengototan PGRI menggelar peringatan Hari Guru Nasional (HGN) pada 13 Desember 2015 mengundang tanda tanya besar. Ini lantaran pemerintah sudah memperingatinya pada 24 November 2015 yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo. Untuk menjaga marwah organisasi profesi guru tertua itu, bahkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) sampai mengeluarkan Surat Edaran Nomor B/3903/M.PANRB/12/2015 tanggal 7 Desember 2015 yang semangatnya meminta PGRI untuk menimbang ulang keinginannya tersebut.
Surat edaran dari KemenPANRB itu lantas disusul dengan surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang secara tersirat meminta PGRI untuk membatalkan acara HGN tersebut. Sebagai organisasi profesi para pendidik, PGRI seyogyanya bersinergi dengan pemerintah. Ini penting untuk menegaskan organisasi sebagai wadah perjuangan anggota ketimbang kepentingan politik kekuasaan.
Alih-alih menaati ajakan pemerintah tersebut, PGRI justru seolah menantang. Mereka berdalih bahwa PGRI bukan organisasi politik sehingga pemerintah tidak bisa melarang kegiatannya. Menempatkan organisasi pada posisi berhadapan secara diametral dengan pemerintah, justru akan merugikan anggota yang sebagian besar merupakan pegawai negeri sipil (PNS). Bukankah sebagai abdi negara PNS mesti tunduk pada keputusan pemerintah.
Mobilisasi massa guru dari seluruh Indonesia saat HGN versi PGRI itu ingin mengirim pesan bahwa pengurus pusat yang dikomandoi Sulistyo tetap solid. Selain itu, tanpa restu pemerintah mereka juga bisa mengggerakkan anggotanya. Dengan begitu, legimitasinya bertambah kuat dan meningkatkan bargaining position terhadap pemerintah. Jika ini yang terjadi, sudah jelas merupakan sebuah gerakan politik.
Menilik akar sejarahnya, PGRI identik dengan pergerakan kemerdekaan. Melalui para guru, para the founding fatherPGRI justru ingin agar organisasi selaras dengan kepentingan nasional. Oleh karena itu, Sulistyo dan kawan-kawan sebaiknya merefleksikan kembali nilai dasar dan tujuan organisasi. Janganlah hanya karena kepentingan sesaat lantas mengorbankan kepentingan jutaan anggota.
Guru sebagai garda depan pendidikan di Tanah Air sudah seharusnya bersikap profesional. Ini hanya terjadi jika guru memiliki kompetensi yang menjadi perhatian utama pemerintah. Alangkah eloknya jika PGRI sebagai organisasi profesi guru terbesar sejalan seirama dengan langkah pemerintah tersebut.
Dengan guru yang kompeten pendidikan berkualitas adalah keniscayaan. Sehingga Indonesia akan menjadi bangsa yang bermartabat dan semakin sejahtera. Kiranya masih ada ruang kontemplasi untuk merumuskan ulang langkah PGRI dalam memberdayakan anggota. Menjadi mitra strategis pemerintah adalah pilihan yang paling rasional saat ini. Sebagai mitra, PGRI seharusnya mendukung setiap kebijakan pemerintah dan tidak membuat manuver-manuver layaknya partai oposisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H