PGRI sedang bergolak. Ini karena tidak transparannya pengurus pusat yang diketuai Sulistyo dalam mengelola dana anggota. Akibatnya, anggota di berbagai daerah tidak lagi rela gajinya dipotong sebagai iuran rutin bulanan. Padahal, sejak dulu organisasi profesi guru tertua di Tanah Air ini menarik iuran anggota dari gaji yang dipotong secara langsung.
Iuran anggota itu kabarnya untuk menopang operasional organisasi. Sayangnya, anggota tidak pernah mendapatkan laporan pertanggungjawabannya secara transparan. Besarnya iuran anggota cukup bervariasi mulai dari Rp 5.000 sampai dengan Rp 10.000. Jika saat ini diklaim ada 3 juta anggota PGRI di seluruh Indonesia, kalikan saja uang yang terkumpul dalam satu bulan. Jumlahnya cukup fantastis mencapai puluhan miliar.
Selain iuran wajib itu, para guru juga masih ditarik iuran insidental setiap PGRI mengadakan kegiatan. Tak ayal, anggota di berbagai daerah pun meradang. Dilansir dari situs HaluanKarimun, 11 Pebruari 2015, salah seorang guru swasta berinisial ET, mengakui kalau iuran wajib sebesar Rp 5.000 memang dipotong langsung dari gajinya setiap bulan yang tidak seberapa.
“Iuran wajib Rp 5.000 dipotong dari gaji, tapi ada lagi iuran wajib khusus sekolah setiap ada kegiatan PGRI. Jadi dikemanakan iuran bulanan yang kami setor ke PGRI?” tanya ET.
Pernyataan ET itu diperkuat salah seorang guru pegawai negeri sipil (PNS) di Tanjungbatu yang mengajar di sekolah negeri. Menurutnya, iuran wajib para guru itu benar adanya dan dipotong dari gaji dengan besaran yang harus disetor kepada PGRI Rp 10 ribu setiap bulan.
Perlawanan terhadap iuran paksa ini juga datang dari Sulawesi Selatan (Sulsel). Dikutip dari kabarmakassar.com, 5 Desember 2015, ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Sulsel, Muhammad Ramli Rahim mendesak organisasi pusatnya agar segera menghentikan segala bentuk pemotongan paksa gaji guru untuk organisasi guru tertentu.
“Kami di IGI Sulsel meminta bendahara sekolah, bendahara dinas atau siapa pun yang sering memotong paksa gaji guru untuk organisasi guru tertentu agar berhenti memotong paksa gaji guru,” tegas Muhammad Ramli Rahim.
Ia juga berharap agar guru yang tergabung dalam organisasi tertentu tersebut secara tulus ikhlas menyetorkan iurannya tanpa harus dipotong di muka. Jangan sampai pemda, dinas pendidikan, bahkan sekolah menjadi perpanjangan tangan organisasi tertentu untuk memotong gaji.
Proses demokratisasi yang mensyaratkan transparansi dan akuntabilitas seharusnya menyadarkan pengurus PGRI. Sudah bukan zamannya lagi main paksa dalam memungut iuran. Tanpa perubahan yang berarti, bukan mustahil jika nanti PGRI akan ditinggal anggotanya. Tentu ini sebuah kerugian besar, karena bagaimana pun secara historis PGRI lekat dengan perjuangan memerdekakan bangsa ini dari kebodohan. Hari lahirnya saja hanya terpaut 100 hari dari ProklamasiKemerdekaan RI. Hanya karena ulah elit-elitnya sajalah PGRI kini bak mimpi buruk bagi para anggota. Iuran setiap bulan ditarik namun tidak jelas penggunaannya.
Untuk menyelamatkan organisasi PGRI, saatnya anggota bergerak. Tolak semua pungutan yang tidak jelas juntrungannya. Jika tetap rela menyetor iuran, sama saja dengan membiarkan PGRI jalan di tempat atau status quo.
Satu hal lagi, PGRI menyerukan para guru agar turut bergabung memperingati Hari Guru Nasional pada Minggu, 13 Desember 2015. Seruan itu diperkuat dengan Surat Edaran yang “mencatut” Gubernur DKI Jakarta. Padahal pemerintah provinsi DKI Jakarta jelas berada segaris dengan pemerintah pusat yang memperingati Hari Guru Nasional 2015 yang resmi, yang puncaknya telah berakhir pada November lalu. Bahkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melarang aparatur negara—termasuk guru berstatus PNS—untuk mengikuti kegiatan Hari Guru Nasional yang diselenggarakan secara ilegal oleh PGRI.