Memprihatinkan. Kata itu tepat untuk menilai kualitas guru yang tercermin dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2012-2014. Nilai rata-rata secara nasional sebesar 47. Sebanyak 88 persen guru di kabupaten/kota di luar Jawa bahkan nilainya di bawah rata-rata nasional. Padahal, mereka itu sudah memiliki sertifikasi dan menikmati tunjangan profesi lebih baikdibanding yang guru non-sertifikasi. Hasil UKG itu menjadi penjelasan obyektif mengapa pendidikan kita tertinggal dibanding negara lain.
Meski demikian, hasil UKG itu bukanlah kiamat bagi dunia pendidikan. Masih ada waktu untuk mengejar ketertinggalan dan memperbaiki kekurangan. Untuk itu, diperlukan jiwa besar dan nalar yang sehat agar kualitas pendidikan tidak semakin terperosok. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik kita meneranginya meski dengan sebatang lilin. Seperti langkah yang dilakukan Kemendikbud dengan menggelar (kembali) UKG 2015. Mengapa hal ini penting?
Seperti diulas di banyak media, Kemendikbud melalui Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) akan menggelar UKG pada November ini. Ada sejumlah perbedaan mendasar dengan UKG sebelumnya. Misalnya, dalam jumlah peserta ujian. Pada UKG tahun ini, seluruh guru yang jumlahnya mencapai 3 juta orang dari berbagai jenjang pendidikan dilibatkan. Semua guru baik bersertifikasi profesi, PNS dan honorer dilibatkan dalam UKG 2015. Sebelumnya, hanya guru tersertifikasi yang total jumlahnya 1,6 juta orang yang diuji.
Selain melibatkan seluruh guru, UKG kali ini juga akan mengukur kompetensi orang per orang dan bukan pemetaan secara keseluruhan (agregat). Ini penting karena nantinya bagi peserta UKG yang mendapat nilai di bawah standar akan diberikan pelatihan. Dengan begitu, opini bahwa UKG adalah “malaikat pencabut nyawa” atas tunjangan profesi guru (TPG) tidak berdasar. Justru dengan mengikuti UKG, guru yang belum memiliki sertifikat profesi berkesempatan untuk memilikinya. Sedangkan bagi guru bersertifikat yang mendapatkan nilai di atas standar akan dijadikan mentor.
Adanya asesmen atas hasil UKG itu juga akan mendorong lahirnya pelatihan atas dasar kemampuan awal guru. Sehingga pelatihan dapat lebih berkualitas dan tepat sasaran. Bukankah dengan begitu anggaran negara tidak mubazir? Hal ini juga sekaligus merupakan koreksi atas pelatihan yang selama ini didasarkan pada kemampuan agregat. Dampaknya, pelatihan kurang menyasar pada kebutuhan guru.
Sebenarnya, peningkatan kompetensi bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbud. Artinya, kualitas pendidikan menjadi tanggung jawab kolektif segenap komponen bangsa. Itu secara tersurat dinyatakan dalam UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pemangku kepentingan lain yang juga harus memikul beban untuk mendongkrak kualitas pendidikan adalah pemerintah daerah (pemda), guru itu sendiri, sekolah, asosiasi profesi, dan masyarakat.
Karena itu, jika semua ingin penyelenggaraan pendidikan berkualitas maka seyogyanya bahu membahu dan bersinergi. UKG tahun ini dapat menjadi momentum untuk menjadikan pendidikan yang lebih baik.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H