Aku menanti waktu yang mampu meretaskan tangis di antaranya. Selaksa rindu menjemputku untuk mengetuk nurani yang lembab akan kejujuran. Aku rindu air mata. Berhari-hari, tak perlu lagi aku menghitungnya dengan kalkulator atau software matematis, tetap saja, air mata adalah molekul berharga yang sedianya dimunculkan pada saat yang tepat. Bukan dijajakan untuk menciptakan iba dan isyarat.
Aku ingin menangis, dan getar lembut di hati yang meresap hingga pelupuk mata itu baru dapat kurasakan lagi kini. Setelah berhari-hari aku berusaha mengumpulkan energi untuk sebuah pembenaran: yang kulakukan tidak salah.
Entah berapa kali aku menguatkan diri untuk mengatakan bahwa aku hanya ingin mencintaimu, itu saja. Jangankan menyatu, sejak menjalaninya dengan jarak yang kita tidak pernah tahu tepiannya, aku tak pernah lagi berharap akan kebersamaan yang mengharukan. Aku tidak lagi berharap untuk memiliki, entah kenapa. Aku hanya ingin kamu mengizinkanku mencintaimu, membiarkanku hadir disaat kamu (mungkin) merindukanku.
Berapa jauh jejak bisu kita? Berapa jumlah coretan hitam dan merah yang kita torehkan menjadi rekaman yang kadang muncul tak terduga? Berapa jengkal rentang pembenaran yang kita ciptakan sendiri. Cinta itu perih dan menggigit, bersua tapi tapi tak bersuara. Itulah kita.
Makna jauh bagi kita terlalu dalam untuk dijabarkan, seperti kompleksitas yang tidak perlu ruang publik para penggugat. Aku yakin kamu paham, kita paham bahwa hakikatnya cinta yang terselip dalam setiap lamunan, setiap doa dan kata yang tak terduga adalah sesuatu yang teduh dan memelas. Tapi kita menampiknya dengan pembenaran yang selalu kita agungkan.
Sepanjang perjalanan aku mencari makna, bahwa memang benar, mencintai itu tidak terkait apa pun kecuali faktor internal yang ada pada diri sendiri.
Aku ingin mencintaimu saja, tidak mau berharap lebih bahwa kau pun akan melakukan hal yang sama. Aku tidak perlu dicintai olehmu. Aku hanya ingin mencintaimu. Menjadikan waktu-waktuku bermakna dengan rasa yang kusemai untukmu, hari demi hari. Menjadikan hidupku lebih sumringah dengan semangatmu yang kudengar sesekali waktu. Itu cukup bagiku. Bahkan melihat parasmu, bukan pula tujuanku, aku tak perlu bertemu denganmu, aku hanya perlu tahu kamu baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H