Mohon tunggu...
Tur Asih
Tur Asih Mohon Tunggu... -

Social Enginer, Books maniac, writer, cheese holic.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lasut

22 September 2011   03:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang, saat aku di sisimu, mendengarkan setiap kata yang kamu lontarkan, mengiyakan setiap argumen yang kamu samarkan, bukan aku, tentang dia.

Akankah kamu tetap duduk, mengamati, dan mengatakan bahwa kamu telah melakukan apa yang seharusnya kamu lakukan? Apakah kamu mengharapkan bahwa putri impianmu akan menghampiri pula lengkap dengan atribut cinta yang kamu harapkan? Kamu tidak lupa, bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, hanya nyaris sempurna. Emosi menuntunmu pada sesuatu yang tidak bisa kamu jelaskan, pada suatu keharuan hidup yang membuat kudukmu meremang. Kamu mencari tempat di sepanjang perjalananmu untuk meneduh dan mengabulkan permohonanmu yang haus. Kamu mencari-cari cahaya yang bisa mengaburkan tanda tanya dalam hatimu. Kamu pun mengatakan bahwa sebaiknya yang kamu lakukan adalah menunggu, kamu yakinkan bahwa kelak putri impianmu akan kembali dan menjadikanmu satu-satunya pilihan yang akan mendampingi sepanjang hayat.

Aku di sisimu, mendengarkan setiap kata yang kamu lontarkan, mengiyakan setiap argumen yang kamu samarkan, bukan aku, tentang dia.

Apa yang ada di benakmu saat ini? Bukankah kamu bilang sudah merasa lelah dengan prosesi mencintai yang membuatmu seperti koma dan hanya bisa mendengar satu suara? Dia. Berhari-hari kamu habiskan waktu untuk mencuri perhatiannya, sebisa mungkin menaklukkan perasaannya, dan kamu akan sangat girang dengan rona pipi kemerahan ketika mendengar sapaannya atau sesekali membaca pesan yang dikirimkan olehnya. Itulah cinta, menurutmu.

Ada orang yang begitu rapi menjaga hati, menyimpan rasa yang sekian lama mendera hanya untuk dirinya. Mengagumi idolanya dari jauh, memimpikan bahwa ia akan menghampirinya minimal dalam mimpi. Orang seperti itu akan begitu mudah singgah pada hati yang lain tapi tersiksa dengan kenyataan bahwa ia hanya bisa jatuh cinta pada satu orang. Sepertimu yang sekian lama mati-matian melakukan ritual ‘melupakan’ dan ‘mencoba’ tanpa tahu bagaimana yang ‘seharusnya’.

Kita bukan makhluk yang serba bisa, tapi kita diciptakan dengan sempurna. Rasa memang persoalan selera, termasuk pada siapa kita menjatuhkan hati. Adakalanya kamu merasa tersiksa dengan cinta separuh hati yang kamu terima atau bahkan cinta yang sepersekian persen sebetulnya tidak kamu tahu. Kadang orang terlalu lugu dan iba untuk sekedar bilang ‘berhentilah, aku tidak mencintai layaknya dirimu’. Kemudian, ketika iba itu muncul, seolah cinta yang menggunung telah dicurahkan padahal sesungguhnya yang hadir adalah rasa yang tak pernah diharapkan: melumpuhkan hati secara pelan-pelan. Mengamputasi logika yan nalar dan juga mengoperasi kewarasan.

Kamu bilang bahwa putri impianmu adalah gadis manis yang polos dan digandrungi oleh setiap mata. Katamu, dia adalah makhluk terbaik yang pernah kamu temui selama hidupmu. Kamu sedang dimabuk cinta yang selama ini justru mencabik kesadaranmu. Sudahkah kamu hitung berapa waktu yang kamu habiskan untuk berangan tentang dia. Dia yang namanya kamu eja di setiap doa, dia yang hanya bisa kamu pandangi punggungnya. Aku tahu, sebelah hatimu menginginkan dirinya hadir dan mendambakan kenyamanan ketika kamu mampu mengeratkan jari-jari milikmu di sela lima cacah jemari miliknya.

Kamu bilang, dia adalah putri paling tulus yang pernah kamu temui. Yang rela menjaga demi kedamaian hatimu, yang rela menangis demi melihatmu bahagia. Adakah kamu juga berpikir, tetesan air matamu kadang membuatmu justru tidak berharga. Tidakkah kamu berpikir bahwa kebahagiaan yang kamu cari selama ini itu nisbi, seperti utopis fatamorgana yang kamu pikir mata air di tengah gurun. Nampak menyejukkan, tapi justru semakin membuat kerongkonganmu terbakar. Energimu hampir habis untuknya, tapi apakah itu cinta yang membuatmu tetap saja merasa kuat meskipun kamu sebenarnya berada di titikmu yang paling lemah?

Aku di sisimu, mendengarkan setiap kata yang kamu lontarkan, mengiyakan setiap argumen yang kamu samarkan, bukan aku, tentang dia.

Hari ini kamu datang dengan kabar yang ingin kamu bagikan, kamu bertemu putri, kamu berhasilmenggenggam jarinya. Bahkan kamu tak hanya memandangi punggungnya, kamu puas dengan detail dari setiap bagian wajahnya. Sempurna, katamu. Tidak ada yang lebih indah dari keindahan atas sesuatu yang kita cintai. Kamu mabuk, cinta itu seperti candu yang membuatmu lupa diri. Sampai larut kamu berceloteh tentangnya, mengungkapkan perasaan bahagia yang tiada terkira. Katamu, putri mengizinkanmu untuk datang lagi menemuinya besok pagi.

Dan aku yakin sebelum matahari terbit esokkamu akan berkali-kali menghubungiku, menanyakan setelan kemeja apa yang cocok untuk kamu kenakan demi terkembangnya senyum bangga sang putri. Setelah itu, jika kamu tak cukup puas dengan saranku, sebelum kamu menemui putri kamu akan memamerkan hasil dandananmu padaku. Mematut-matutnya di hadapanku, berputar, membaukan wangi parfummu ke hidungku, lalu pergi dengan satu gerakan mengacak rambutku.

Ya besok pagi, sebelum aktifitasku melumat setangkup roti tawar selesai kupastikan kamu sudah tergesa mengetuk pintu. Mukamu innocent.

Ramalanku mati, kamu tidak pernah datang lagi. Bahkan hingga lusinan tangkup roti tawar kuhabiskan, kamu tidak datang.

***

Di sudut ruang lain, sebelum besok pagi, pagi yang meleset dari ramalanku.

Akuyakin kamu masih terlelap saat ini. Selimut yang kamu kenakan telah tersingkap sebagian atau seprei yang membuat kamu nyaman telah berubah kusut karena tidurmu yang sorah. Aku hanya mereka-reka di antara jarak yang tidak begitu jauh dan tak pula dekat. Ada dua tas yang kamu letakkan di sudut kamarmu sebagai persiapan yang akan kamu bawa nanti ketika matahari naik sepenggalah. Menuju suatu tempat yang berkali-kali kamu sampaikan padaku hingga aku hapal dan bisa mengeja setiap jalan yang akan kamu lalui. Hampir setiap hari kamu ceritakan bahwa kamu akan pergi, ke tempat itu, tempat yang sudah kamu impikan sedemikian lama. Sendiri dan untuk putri.

Tepat ketika waktu bertambah lima jam dari saat fajar, kamu akan berangkat. Sudah kusadari bahwa kamu takkan mengucapkan kata selamat tinggal padaku. Itu bukan tradisimu, pamit bagimu akan membatasi pertemuan selanjutnya. Kamu selalu membayangkan wasiat kematian jika aku merajuk pemberitahuanmu ketika akan pergi. Meskipun kamu sebenarnya benar-benar tahu apa arti kata ‘pamit’ bagiku.

***

Di waktu yang akan datang, ketika aku berhasil menemukanmu di ujung jalan, tanpa perjanjian.

Saat kutiba dan kuberusaha menyuarakan namamu. Kamu diam, meski pita suaramu tidaklah rusak. Kamu nampak janggal dan sepertinya tidak mengenaliku lagi. Aku yang kemarin selalu disisimu, mendengarkan setiap kata yang kamu lontarkan, dan mengiyakan setiap argumen yang kamu samarkan. Memorimu buyar. Kau tak sempatmenyapaku, kau lupa namaku. Apalah arti sebuah nama, tapi setidaknya suaramu mampu meruntuhkan gerbang kelumpuhan perasaanku selepas kepergianmu yang tanpa kabar itu. Namun tak sepenggal kata pun kudengar hingga aku putuskan untuk berlalu dari hadapmu. Kamu lupa.

Seorang putri yang asing bagiku berjalan tak lebih jauh dari lima senti di dekatmu, tersenyum dan menghambur ke arahku menyerahkan satu memo yang mengantarkan kalian berdua ke altar suci. Sekelilingku muram. Kamu tidak pernah tahu bagaimana aku dulu selalu di sisimu: mendengarkan dan mengiyakan. Apakah itu putri yang pernah kamu elu-elukan, kamu puja dengan segala daya cinta yang kamu punya?

Kamu lupa.Bukan karena kamu amnesia.

***

Di masa depan, saat kamu sempurna.

Aku hanya bisa berdiri mematung melihat senyummu. Tidak berani mendekat. Itu adalah momen bahagiamu yang entah mengapa aku merasa tidak pantas untuk ikut menikmatinya. Ucapan selamatku seperti sebuah ceremonial yang hambar. Aku pasrah, menghadap pada sekat yang seperti kita ciptakan akhir-akhir ini. Kita bertatap, tangan pun saling menjabat dalam jarak yang dekat, tapi hangat pun menjadi entah, sebab kita hanya merapat kata sepakat.

Setelah itu, kelopakku menjadi berat. Seringkali berusaha untuk mendongak ke atas menahan langit air mataku supaya tak runtuh. Tapi tetap, ketika menatapmu dari jauh, ada keharuan yang tidak bisa kusembunyikan. Kamu berhasil menaklukkan hati putri satu-satunya. Putri yang membuatku jenuh mendengarmu bercerita, putri yang membuatku semakin lasut kini berhasil kamu miliki secara sempurna.

***

Pagi ini, dengan setangkup roti.

Sarapan pagiyang kunikmati terasa hambar, mulutku mengunyah tetapi telingaku yang bekerja lebih keras. Berkali-kali aku berharap agar mendengar dua ketukan di pintu, ritualmu setiap hari. Terlalu dini untuk berangan, tapi kamu memang tidak datang lagi setelah celotehmu semalam. Membuatku semakin kecut, pengecut, dan lasut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun