Mohon tunggu...
Humaniora

Justifikasi

2 November 2015   17:08 Diperbarui: 2 November 2015   17:30 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Prit! Prit!” suara peluit dari seorang polisi di perempatan suatu jalan. “Sial! Kena polisi” keluh seorang ayah sambil menepikan mobilnya ke pos polisi. “Bisa lihat STNK dan SIM nya Pak?” tanya polisi itu sambil tersenyum bak mengharap sesuatu. “Pa, kita salah apa? Kok di berhentikan?” tanya seorang anak di kursi belakang mobil. Tanpa menjawab pertanyaan anak nya, ayah itu dengan cepat mengambil apa yang di minta oleh polisi itu.

Setelah melihat yang diminta, pak polisi itu berkata “Pak, ikut saya ke dalam pos!” sambil meringis seakan mengharap “uang jajan”. Pak polisi itu pun masuk ke pos nya. “Ma, ambilkan seratus” ucap si Ayah “lima puluh sudah cukup. Jangan banyak-banyak” gubris Si Ibu “Tapi Pa! Ma! Penyuapan itu melanggar hukum. Kita orang taat hukum kan? Lagi pula, kita belum tentu salah” sanggah Si Anak. “Diam Ko! Biar Papa urus.” bentak ayah anak itu. Si Ayah pun keluar dari mobil dan menuju ke pos polisi. “Ma, kenapa? Kita belum tentu salah. Sabuk terpakai, mobil layak jalan. Kalau mau di tilang karena klakson-klakson, kan bisa kita sangkal. Klakson buat apa kalau bukan buat memperingati kendaraan lain?” tanya bocah itu dengan penuh amarah “Sudah Ko, benar salah tetap di tilang. Kita tidak salah apa-apa tetapi, tetap harus ke pengadilan dulu. Kamu kan tau Papa tidak punya waktu ke pengadilan. Lebih baik kita kasih duit aja 50 Ribu daripada ke pengadilan, habis uang bensin, waktu juga habis” Anak itu terdiam mendengar ucapan Ibu nya. Beberapa saat kemudian, Si Ayah pun keluar dari pos polisi. Polisi itu hanya tersenyum dan berpamitan pada Si Ayah.

Setelah Si Ayah kembali ke dalam mobil, mereka pun melanjutkan perjalanan. Walaupun suasana di dalam mobil sunyi, batin Si Anak bergejolak.

Justifikasi. Itulah realita kehidupan yang tersirat dalam kisah singkat di atas. Diceritakan sifat manusia yang membenarkan hal yang salah. Tokoh Ayah dan Ibu menyuap polisi agar tidak di tilang. Perbuatan itu salah tetapi masih dilakukan karena adanya alasan untuk menghindari pengadilan padahal belum tentu salah. Walaupun sudah tahu perbuatan menyuap itu salah, mereka tetap melakukan karena JUSTIFIKASI. Karena malas ke pengadilan.

 Alasan untuk melakukan hal yang kita tahu salah, sangkalan dan alasan yang kita lontarkan saat di tanya mengapa,  itulah PEMBENARAN/JUSTIFIKASI. Justifikasi sangat kental pada manusia. Kisah di atas hanya contoh kecil dari sifat manusia yang satu ini. Coba renungkan sejenak apa perbuatan buruk yang telah kita lakukan. Coba pikir alasan kita melakukan itu. Mudah sekali. Jauh lebih mudah dari pada melakukan hal benar atau tidak melakukan hal salah. Itulah manusia. Itulah hal yang membuat suatu negara menjajah negara  lain. Seruan-seruan seperti ”Gold,Glory,Gospel” yang menjadi pembenaran menjajah, mengkolonisasi, menjarah daerah asing.

Hindari penggunaan pembenaran dengan cara menghindari perbuatan salah.

Karena penggunaan Pembenaran hanya akan membutakan kita dari Kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun