Mohon tunggu...
The Handa
The Handa Mohon Tunggu... Buruh - Freelancer

Pembelajar~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berhenti Kasihani Pedagang Keliling, Mulailah Kasihan pada Diri Sendiri

2 Agustus 2024   16:38 Diperbarui: 2 Agustus 2024   16:39 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pedangang Keliling. Sumber : pexels.com/Min An.

Acapkali media sosial kita pernah sesekali merekomendasikan pada kita konten melalui algoritmanya mengenai keluh kesah pedagang kecil yang tampak sedang bersedih. Sebagian besar karena dagangannya belum laku banyak di hari itu. Konten demikian membuat hati kita iba, musti saja.

Tak ayal, di kehidupan nyata, kita menjadi lebih menaruh empati pada pedagang kecil, terutama pedagang keliling yang kita jumpai. Saya pun demikian. Saya pernah merasa terketuk hati saya untuk menaruh empati pada pedagang keliling yang sedang menjajakan dagangannya.

Saya bertanya dalam hati. Jika dagangannya masih tampak banyak begitu, apakah hari itu pedagang tersebut memiliki penghasilan yang cukup untuk menyambung hidup? Sesederhana itu pertanyaan saya.

Namun, ada satu momen yang membuat saya terhenyak dari prasangka saya sendiri. Saya yang bekerja paruh waktu sebagai penjaga stand makanan, waktu itu saya sedang kesulitan memberikan kembalian pada pembeli. Saat itulah saya menukar uang dengan pedagang tahu Sumedang keliling yang menitipkan sepeda motornya di parkiran pujasera, tempat saya berdagang.

Saya sempat skeptis apakah pedagang tersebut telah mengumpulkan cukup uang, melihat tahu Sumedang yang dipajang di pikulannya masih banyak. Ternyata setelah ia membuka dompetnya, tampak berlembar-lembar uang berwarna merah dan biru.

Itulah momen yang mengubah segala prasangka saya terhadap pedagang keliling.  Saya salah menilai dan memandang pedagang keliling selama ini. Bukan maksud memandang rendah, namun saya mudah empatik dengan mereka, mengira bahwa pedagang keliling hidupnya susah. Serupa kesusahan seperti yang ditampilkan di konten media sosial yang kerap saya lihat.

Saya malu bukan kepalang terhadap diri saya sendiri. Melampaui ekspektasi saya yang mengira pedagang keliling tak punya uang, saya terhenyak pada realita bahwa kondisi bokek justru terjadi pada diri saya sendiri. Saya menjadi sadar, pedagang keliling juga makhluk Tuhan yang telah diberi rejeki sesuai dengan kasih-Nya. Hanya karena mereka menjajakan dagangan dengan berkeliling, bukan berarti mereka lebih susah dibanding kita sebagai pembeli atau sesama pedagang.

Sebagai penampar dari prasangka sendiri, seharusnya saya lebih mengasihani diri sendiri yang masih sering bokek dan tak punya uang. Wkwkwkwkwk.

Pedagang keliling bukanlah pekerjaan yang perlu dikasihani. Hendaknya kita membeli dagangan pedagang keliling bukan karena kasihan, tapi karena memang membutuhkan produk barang atau jasa yang dijajakan.

Sebagai sesama pedagang yang masih amatiran, saya jadi belajar untuk tak gampang menilai rendah orang lain yang berprofesi sebagai pedagang keliling. Saya justru menilai pedagang memiliki satu rasa, satu perjuangan dalam memperjuangkan hidup. Selamat berjuang kawan, mari bertahan hidup di era dimana konten media sosial kerap menjual konten berisi narasi "kasihan" untuk menarik penonton agar iba dan berempati. Tak selamanya yang tampaknya perlu dikasihani, layak dikasihani. Bisa jadi mereka justru lebih berada. Mendingan kasihani diri sendiri, dan kembali lanjutkan kerja keras bagai kuda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun