Bangsa Indonesia telah meraih kebebasannya dari belenggu penjajahan dunia setelah Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kita tidak perlu lagi diperintah dan diasingkan di negeri sendiri. Namun, sudahkah kita benar-benar merdeka?
Secara simbolis, bangsa ini memang telah merdeka, namun salah satu faktor yang meliputi kemerdekaan adalah merdekanya pikiran manusia. Mengapa saya mengkritik bahwa bangsa ini belum merdeka secara pikiran? Ada beberapa fenomena sosial dan habit serta implikasi pengaruh internal-eksternal yang menyebabkan runtuhnya pemikiran yang jauh dari merdeka. Artikel ini mungkin lebih bersifat ekspresif dibanding analitis, tapi setidaknya artikel ini ditulis berdasarkan rasa geram yang harapannya mampu meningkatkan kesadaran para pembacanya.
Terjajahnya Pikiran
Descrates dan Aristoteles telah menyinggung soal esensi alamiah manusia. Keduanya memiliki kemiripan pendapat soal manusia. Aristoteles menyebut bahwa “Manusia adalah hewan yang berpikir”, sementara Descrates dalam kalimatnya yang terkenal berkata “Aku berpikir maka aku ada”. Kedua filsuf besar ini menyinggung bahwa pikiran merupakan esensi manusia dalam menjalani kehidupan sebagai manusia. Lantas, bagaimana jadinya kalau unsur alamiah manusia itu justru terjajah? Dan mengapa itu disebut terjajah? Faktor apa yang menyebabkan suatu pikiran tidak bisa merdeka?
Ada dua faktor yang melingkupi terjajahnya pikiran yang lebih mengarah pada unsur eksternal yang historis dan kausalitas. Mari bahas soal orang Eropa dan karakteristik mereka yang kolonialis. Mereka yang akan menjadi titik awal penjajahan fisik maupun pikiran. Jared Diamond dalam bukunya “Gun, Germs, Steel” menyinggung soal bagaimana orang Eropa bisa menguasai dunia melalui kolonialisme dengan panji 3G (Gold, Glory, Gospel) beserta aspek biologis dan alam yang mempengaruhinya. Singkatnya orang Eropa terutama pra dan pasca abad pertengahan telah menguasai 3 materi penting, yakni bedil, bakteri, dan besi. Ketiganya yang membawa Eropa bisa menaklukan dunia.
Berbeda dengan belahan dunia lain, Benua Amerika dan Asia Kecil misalnya, mampu ditaklukkan karena orang Eropa telah memiliki ketiga materi tadi. Orang-orang primitif di Amerika dan Asia Kecil memang memiliki peradaban, namun beberapa diantaranya masih menggunakan peralatan maupun fondasi bangunan yang relatif terbelakang seperti kayu atau batu. Hanya sedikit yang mengenal dan mengolah besi. Sedangkan Eropa telah mengolah besi lebih dulu. Karenanya mereka bisa membuat bedil atau senjata yang lebih canggih dibanding orang-orang primitif ini. Ditambah dengan bakteri atau kuman yang mereka bawa dari wabah-wabah besar Eropa seperti Black Death. Kasus ekspedisi Spanyol ke Amerika Selatan juga kerap dikaitkan dengan penjajahan melalui bakteri bukan bedil. Orang Eropa sudah terbiasa hidup dengan bakteri. Imun mereka kuat dan tentunya memiliki obat. Namun bagaimana dengan orang Amerika Selatan yang tidak terbiasa dan tidak memiliki obat? Mereka akan mati perlahan-lahan tanpa perlu dileburkan dengan bedil. Sehingga 3 materi tadi, bedil, bakteri, dan besi menjadi fondasi awal kolonialisme Eropa.
Melalui kolonialisme, bangsa Eropa kemudian bisa menerapkan kebudayaannya terhadap negeri jajahannya, yang menyebabkan kultur asli negeri itu menghilang perlahan-lahan. Lihat saja Amerika Serikat. Apa budaya mereka? Semuanya adalah adaptasi dari Eropa, sementara suku asli Indian kini terancam punah. Periode kolonialisme pun membentuk mindset kaum jajahan bahwa orang Eropa berkulit putih adalah kasta tertinggi dari stratifikasi sosial. Sementara yang berkulit hitam adalah golongan rendah yang hanya bekerja untuk jadi budak. Mindset itu masih bertahan hingga saat ini, bahkan di banyak belahan dunia manapun, meski negeri tersebut telah meraih kemerdekaannya.
Di Indonesia sendiri, narasi sejarah kebanyakan mengatakan bahwa kita terjajah 350 tahun oleh Belanda. Selama periode kolonialisasi Belanda, kita telah mengalami penindasan dan pembentukan mindset-mindset tadi. Apa buktinya? Pernahkan pembaca melihat atau justru mengalami sendiri ketika seseorang berkebangsaan asli Indonesia terpukau dan histeris melihat seorang bule yang bukan siapapun. Lalu orang Indonesia ini langsung mengajak foto bersama si bule, dan memanggilnya dengan mister atau sir terhadap bule laki-laki dan mrs terhadap bule perempuan. Orang bule ini tidak mengerti mengapa dirinya diperlakukan mulia demikian padahal ia bukan siapa-siapa, hanya seorang turis yang mungkin berkebangsaan Eropa atau Amerika. Itu adalah bentuk terjajahnya pikiran oleh pengaruh kolonial. Kita masih melihat bahwa orang Eropa berkulit putih sebagai bentuk ideal dan kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial. Padahal kita adalah bangsa yang merdeka! Kita tidak perlu lagi melakukan apa yang nenek moyang kita lakukan selama masa penjajahan. Kita tidak perlu menghamba dan mengagungkan orang Eropa yang sekedar mengunjungi Indonesia. Justru tunjukan kepada mereka bahwa kita bangsa yang merdeka dan menjadi tuan rumah yang kuat dihadapan mereka.