Tidak hanya berperan dalam bidang sosial masyarakat dan pendidikan, Muhammadiyah juga memiliki sejarahnya sendiri dalam sejumlah rentetan jejak politik yang menghiasi tanah air. Kiranya Ormas Islam ini juga turut memberikan warisan dan pengaruh politik yang besar bagi Indonesia.Â
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 sebagai organisasi pembaharu Islam yang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Muhammadiyah sendiri telah mewarnai banyak aspek-aspek sosial dalam lembar sejarah Indonesia dan politik merupakan salah satunya. Kiprah berpolitik Muhammadiyah merupakan suatu pembahasan yang menarik untuk dikaji pasalnya organisasi ini pada awalnya bukanlah organisasi yang berlandaskan terhadap nilai-nilai politik melainkan terhadap nilai-nilai pembaharuan ajaran agama Islam. Memangnya seperti apa jalan berpolitik dari Sang Surya ini?
Berdirinya organisasi ini tidak lepas dari pemikiran Ahmad Dahlan terkait pembaharuan Islam. Saat berada di Mekkah, Ahmad Dahlan (Saat itu Muhammad Darwis) banyak mempelajari ide-ide dan gagasan dari tokoh pembaharu Islam seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh. dan Rasyid Ridha. Selepas kembali ke tanah air, Ahmad Dahlan lalu menuangkan hasil pembelajarannya itu melalui Muhammadiyah.
Ciri utama yang membuat Muhammadiyah menjadi besar adalah melalui sistem pendidikannya. Tidak bisa dpungkiri bahwa Muhammadiyah terkenal akan lembaga pendidikannya seperti sekarang ini. Muhammadiyah melakukan trobosan baru dalam media pengajarannya yakni dengan memasukkan unsur agama dalam mata pelajaran umum. Dari pendidikan inilah Muhammadiyah mulai melebar ke berbagai penjuru negeri sehingga menjadi organisasi Islam yang besar di Indonesia.
Sementara kiprah politiknya sendiri bisa disebut bahwa Muhammadiyah memulai jalan politiknya ketika tergabung dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Mayumi sendiri merupakan sebuah perhimpunan untuk menyatukan lembaga-lembaga muslim di Indonesia demi kepentingan mendukung Jepang di perang Asia timur raya.
Pasca kejatuhan Jepang dalam perang dan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaanya, Masyumi lalu bertransformasi menjadi partai politik pada 7 November 1945. Beberapa kader-kader Muhammadiyah lalu turut menjadi bagian dari fungsionaris partai tersebut. Sebut saja seperti Ki Bagus Hadikusumo, AR. Sutan Mansyur, Buya Hamka, Ahmad Badawi, dan sebagainya. Pada periode ini, Muhammadiyah dijadikan sebagai anggota istimewa oleh partai Masyumi. Tidak seperti NU yang keluar dari Mayumi pada 1952, Muhammadiyah tetap membersamainya hingga partai Masyumi dibubarkan oleh rezim Soekarno pada tahun 1960.
Jumlah orang Muhammadiyah dalam pimpinan pusat partai Masyumi selalu berada diatas angka 50%. Merupakan sebuah peningkatan karena pada periode sebelumnya anggota Muhammadiyah dalam kepengurusan Masyumi hanya berada disekitaran angka 30%-50%. Dalam kabinet pemerintahan pusat demokrasi liberal, anggota Muhammadiyah juga turut mendapatkan jabatan dalam beberapa kabinet. Seperti contohnya pada kabinet Halim, RIS dan Natsir, Muhammadiyah mendapatkan satu jabatan dan pada kabinet Wilopo, Muhammadiyah mendapat empat jabatan.
Pada tahun 1958 meletus pemberontakan PRRI-Permesta. Partai Masyumi kemudian dituduh terlibat dalam aksi pemberontakan tersebut sehingga kehadiran partai itu dilenyapkan oleh Soekarno. Tepatnya pada 1959 Partai Masyumi kemudian dibubarkan dan banyak anggota-anggotanya yang ditangkap. Sejak saat itu, Muhammadiyah lalu memutuskan untuk bersikap lebih netral dalam berpolitik.
Masuk ke era Orde Baru, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang kemudian berkoalisi untuk mendirikan sebuah partai Islam yakni, Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) yang didirikan pada tahun 1968. 3 tahun setelah pembentukan PARMUSI, Muhammadiyah kembali mengadakan kongres mereka yang ke-38 di Makassar pada tahun 1971 yang kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa Muhammadiyah tidak akan lagi terikat dan terafiliasi oleh partai politik serta kembali fokus pada Gerakan pembaharuan Islam dan dakwah.