Mohon tunggu...
Fajariah Tri Lestari
Fajariah Tri Lestari Mohon Tunggu... lainnya -

Saya adalah seorang sarjana di bidang pendidikan dan juga seorang ibu rumah tangga.\r\nSebagai manusia, Saya ingin mengembangkan pengetahuan dan kemampuan yang Saya miliki.\r\nOleh karena itulah Saya bergabung dengan KOMPASIANA karena KOMPASIANA adalah tempat yang tepat untuk mencari informasi dan berbagi pengetahuan serta pengalaman.\r\n\r\nSemua tulisan yang Saya muat di website ini adalah murni hasil karya Saya sendiri dan bebas dari aktivitas plagiarisme..\r\n\r\n\r\n\r\nTerima Kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berapa Tingkat "Kesosialan" Kita?

23 Desember 2014   15:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:38 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Berapa Tingkat ‘KESOSIALAN’ Kita?

*Tingkat Kesosialan

Sejak kita masih sekolah di sekolah dasar, kita sudah diberi doktrin bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial. Namun, hanya sedikit saja konsep makhluk sosial yang kita pahami.

Buktinya adalah selama ini masyarakat kita menganggap bahwa seseorang yang layak dianggap sebagai makhluk sosial adalah seseorang yang memiliki banyak teman atau kawan, kenal dengan siapapun, dan selalu bersosialisasi dengan orang lain.

Menurut saya, pola pikir seperti itu sangatlah sempit. Seolah-olah tingkat “kesosialan” seseorang hanya dilihat dari berapa banyak jumlah teman yang dia miliki dan berapa lama durasi waktu yang dia habiskan bersama dengan teman-temannya.

Contoh:

Ada seseorang yang sangat gaul sekali. Maksudnya, dia memiliki sangat banyak teman, dia kenal dengan semua orang, dan suka berkumpul dengan orang-orang. Namun ketika suatu saat temannya ada yang sakit atau kena musibah, orang tersebut samasekali tidak peduli, tidak mau membantu, bahkan pura-pura tidak tahu. Dia hanya mau datang dalam rangka bersenang-senang dan hura-hura saja. Ibarat pribahasa, ‘habis manis sepah dibuang’.

Lantas, apakah orang yang seperti itu layak disebut dengan makhluk sosial?

Apakah orang yang seperti itu layak dianggap sebagai teman?

Apakah seseorang layak dianggap sebagai makhluk sosial jika dia tidak punya kepedulian pada orang lain?

Apakah seseorang layak dianggap sebagai makhluk sosial jika dia hanya hadir di saat senang dan gembira, namun dia abstain di saat sulit dan menderita?

Kesimpulan dari pernyataan saya di atas adalah bahwa tingkat “kesosialan” seseorang jangan hanya dilihat dari berapa banyak jumlah teman yang dia miliki, tapi SEBERAPA BESAR TINGKAT KEPEDULIAN DAN KEPEKAAN SOSIAL yang dia miliki untuk SENANTIASA ADA DI SAAT TEMANNYA TERKENA MUSIBAH ATAU PENYAKIT SERTA BENCANA.

Ketika kita sedang BANYAK UANG, maka BANYAK JUGA ORANG YANG DATANG.

Ketika kita sedang BERSENANG-SENANG, maka BANYAK JUGA ORANG YANG DATANG.

Ketika kita sedang PUNYA JABATAN, maka BANYAK JUGA ORANG YANG DATANG.

Ketika kita sedang BERHURA-HURA, maka BANYAK JUGA ORANG YANG DATANG.

Tapi ketika kita sedang sakit, maka belum tentu mereka peduli.

Tapi ketika kita sedang kena bencana, maka belum tentu mereka datang menemani.

Tapi ketika kita sedang kena musibah, maka belum tentu mereka mau membantu.

*Autophobia

Ada juga orang yang autophobia. Dia takut jika sedang sendirian. Takut ini lah, takut itu lah. Seolah-olah dia selalu bergantung pada orang lain, tidak mandiri, dan harus selalu ditemani setiap saat. Dia selalu ingin berada di tengah banyak orang atau di tempat keramaian. Mungkin ada suatu faktor psikologis yang harus diperbaiki dalam dirinya sendiri supaya tidak merasa ketakutan pada kesendirian. Entahlah, saya bukan seorang psikolog.

*Asas Manfaat

Mentang-mentang ada slogan “manusia adalah makhluk sosial”, banyak orang yang memanfaatkannya untuk selalu bergantung kepada orang lain, tidak mau berusaha sendiri, tidak mau memenuhi kebutuhan hidup sendiri, dan tidak mau melakukan tugasnya sendiri.

Padahal manusia memiliki akal budi serta kemampuan logika untuk berpikir dan memecahkan berbagai masalah serta menyelesaikan semua pekerjaannya tanpa harus selalu mengandalkan orang lain.

Seharusnya kita memegang teguh prinsip “kalau bisa saya kerjakan sendiri, mengapa harus nyuruh orang lain?”.

Sayangnya, masyarakat kita malah menerapkan prinsip “KALAU BISA NYURUH ORANG LAIN, MENGAPA HARUS SAYA KERJAKAN SENDIRI?”.

Tidak heran jika negara kita ibarat jalan di tempat di saat negara lain berpacu kencang menggapai kemajuan dan kesejahteraan.

© The Famousz Gorgeousz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun