Saya ingin berbagi sedikit cerita. Cerita mengenai sosok yang pasti mahasiswa psikologi mengenalnya. Freud (baca Froid). Yup, lebih lengkapnya Sigmund Freud. Tokoh psikoanalisa ini ternyata seorang atheis. Saya mengetahuinya pertama kali saat melihat video Harun Yahya sekitar tahun 2005, tapi saya lupa judul videonya apa, hehe…. Sebenarnya selain Freud, ada lagi satu tokoh yaitu Ludwig Van Feuerbach. Dalam artikel ini akan ada beberapa kali namanya disebut. Hanya saja saya tidak terlalu familiar dengan Feuerbach. Cerita ini saya peroleh setelah membaca buku Bumi Cinta karya Kang Abik. Alhamdulillah saya memperoleh keterangan lebih lanjut mengenai penyebab kenapa seorang Freud memilih atheis. Penjelasan ini terdapat di Bab 26 tentang jenis-jenis atheisme. Seorang Muhammad Ayyas yang merupakan tokoh utama dalam novel ini menyebutkan bahwa ada beberapa jenis atheisme. Ada atheisme positivisme, atheisme materialisme, atheisme psikologi, atheisme marxisme, atheisme eksistensialisme dan atheisme neo positivisme. Meski memiliki banyak jenis, intinya pemikiran mereka sama yaitu tidak mengakui adanya Tuhan. Saya tidak akan menulis panjang lebar mengenai jenis-jenis yang disebutkan oleh Ayyas sebagaimana dalam novel. Tapi saya berfokus pada atheisme psikologi. Ayyas menuturkan bahwa psikologi semestinya menguatkan keimanan seseorang akan keberadaan Tuhan. Karena psikologi adalah penjelajahan perasaan, batin, dan jiwa manusia. Semakin kenal manusia pada dirinya semestinya ia semakin dekat dengan Tuhannya. Namun ternyata ada beberapa ahli psikologi sesat yang menggunakan alasan psikologi sebagai dalil mengingkari adanya Tuhan. Mereka adalah Sigmund Freud dan Ludwig Van Feuerbach yang merupakan ahli psikologi Jerman pada abad ke-19. “Mereka berdua mengingkari Tuhan dengan alasan psikologi. Menurut mereka bertuhan adalah jiwa kekanak-kanakan yang dibawa hingga dewasa. Menurut Freud, saat kecil manusia lemah. Ia mengalami banyak kekurangan untuk memenuhi kebutuhannya. Meja begitu tinggi bagi seorang bocah. Ia tidak bisa menggapai benda di atasnya. Kursi terasa berat, ia tidak kuat mengangkatnya. Ia melihat ayahnya bisa melakukan apa saja. Mengambil benda di atas meja. Mengangkat kursi. Begitu mudah. Ia kagum pada ayahnya. Ayahnya ia lihat mahakuasa. Ia menjadi sangat memerlukan ayahnya. Ketika anak itu sudah dewasa ia menciptkan Tuhan dalam benaknya. Tuhan yang ia sebut dalam doanya untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Persis waktu ia kecil dulu saat minta pada ayahnya. Jadi Tuhan, menurut Freud, hanya rekayasa manusia saja untuk ia jadikan tempat bertumpu atas segala keinginannya. Freud mengingkari adanya Tuhan dengan alasan seperti itu. Agama menurut Freud dan Freuebach hanya cerminan keinginan manusia.” Selanjutnya Ayyas menjelaskan bahwa kelemahan dari atheisme psikologi ini adalah pen-generalisasiannya. “Dari awal sampai akhir falsafah mereka lemah. Kita tanya pada anak-anak kecil di sekitar kita tentang Tuhan, mereka akan menjawab Tuhan itu ada. Jadi pengalaman psikologi seperti yang digambarkan Freud sangat jauh dari kebenaran. Freud menggambarkan, ketika orang sudah dewasa dia menciptakan Tuhan dalam benaknya. Yaitu Tuhan yang ia sebut dalam doanya untuk memenuhi keinginan-keinginannya. Persis waktu ia kecil dulu saat minta keinginan-keinginannya. Persis waktu kecil dulu saat minta tolong ayahnya. Ini sungguh gambaran yang sangat lucu sekali. Bagaimana dengan orang yang sejak kecil telah mengenal Tuhan, dan mengakui Tuhan itu ada? Atau bagaimana dengan anak yatim piatu yang tidak punya bapak dan tidak punya ibu. Hidup sebatangkara sejak kecil, namun ketika dewasa mengakui adanya Tuhan. Apakah Tuhan yang diakuinya terlahir dalam benaknya sekedar untuk memenuhi keinginan-keinginannya, persis waktu ia kecil dulu saat minta tolong ayahnya. Bagaimana ia punya pengalaman minta tolong pada ayahnya padahal ia tidak punya ayah?” “Freud dan Feuerbach sama-sama meyakini bahwa agama tak lain hanyalah cerminan keinginan manusia. Karenanya, agama juga khayalan otak manusia belaka. Pertanyaannya, benarkah agama itu merupakan keinginan-keinginan? Kodrat manusia menghendaki terpenuhi secara baik kebutuhan jasmani dan ruhani. Nafsu seks manusia menghendaki pemenuhan dengan wanita mana saja tanpa batasan atau larangan. demikian pula nafsu perutnya. Tetapi agama melarang demikian. Manusia wajib memenuhi tuntutan perut dan seksnya dengan beberapa aturan. Manusia wajib menjaga dorongan seksnya. Manusia tidak boleh melampiaskan keinginan-keinginan seksnya kecuali pada pasangannya yang sah. Manusia tidak boleh mengisi perutnya kecuali dengan yang halal. Manusia harus mengerjakan shalat, puasa, membayar zakat, sedekah dan itu bukan suatu keinginan. Tapi kewajiban dan tuntutan yang diajarkan agama.” “Jika manusia merupakan keinginan, mengapa banyak para Rasul yang membawa agama itu justru menderita, disingkirkan, diteror, bahkan ada yang dibunuh. Jika agama cerminan keinginan, seharusya semua Rasul diterima dengan penuh sukacita oleh kaumnya. Kenyataannya adalah sebaliknya. Jadi tidak benar agama merupakan keinginan-keinginan. Dan tidak benar anggapan Tuhan hanya rekaan benak manusia. Tuhan memang benar-benar ada. Dan agama yang benar seperti islam adalah agama yang diwahyukan Tuhan. Bukan cerminan keinginan-keinginan manusia.” Penjelasan Ayyas mengenai kelemahan atheisme psikologi saya rasa sangat jelas. Meski Ayyas hanya tokoh rekaan dalam novel, tetapi pandangannya bersifat ilmiah. Karena pada dasarnya non fiksi kekinian, baik itu cerita pendek ataupun novel dibuat berdasarkan suatu karangan yang dapat dipertanggung jawabkan. Seperti halnya yang dikatakan oleh Maimon Herawati (salah satu pendiri Forum Lingkar Pena), non fiksi tidak hanya rekaan dan imajinasi belaka, tapi juga berdasarkan hasil riset penulisnya. Saya pribadi merasakan sekali beberapa teori yang diusung Freud membawa saya menjauhi agama. Pernah suatu kali saya bertanya dan berfikir, kenapa Allah memberikan hukuman? Padahal setiap perbuatan ada penyebabnya. Tidak adakah toleransi dari sebuah perbuatan? Dalam salah satu teorinya Freud menyebutkan bahwa pada tahap lima tahun pertama akan mencerminkan pribadi di masa dewasa. Bagaimana jika orang tua mendidik anak-anaknya dengan cara yang salah, sehingga ia mengalami fiksasi dan bermasalah pada masa dewasa? Apakah anakharus dihukum juga? Tapi hari demi hari, saya semakin paham. Kenapa Allah memberi hukuman/adzab. Teori-teori Freud hanya mampu memberitahukan, tapi tak mampu menyelesaikan. Yang ada hanya penyalahan-penyalahan. Kenapa saya begini? Ya karena masa lalu saya seperti ini! Tapi nihil solusi. Hukuman dari Allah justru merupakan sebuah toleransi. Meski tidak terjadi kini, namun di akhirat nanti, pasti. Masih ada peluang di situ, kita masih diberi kesempatan memperbaiki diri. Dan beruntunglah karena dengan adanya masalah berarti kita sedang di uji, dan ujian adalah cara Allah meningkatkan kualitas umat-Nya. Tergantung kita, mau berkualiatas atau tidak. Contoh konkritnya begini, seorang anak ketika dewasa mengalami gangguan emosi. Ia tidak mampu mengontrol emosi saat menginginkan sesuatu. Apa yang ia inginkan harus dikabulkan, sehingga si ayah melakukan korupsi. Usut punya usut, ternyata hal ini disebabkan oleh kebiasaan orang tuanya yang selalu mengabulkan permintaan si anak. Dan lebih jauh lagi, pada masa toilet training si anak dipakaikan pampers sepanjang hari sehingga anak tidak mampu bersabar/menahan keinginannya. Ketika si ayah dipenjara, si anak jatuh miskin dan kemudian menyadari ada yang salah dengan pola asuh orang tuanya. Dan kemudian berkata, “ini semua salah Papa sama Mama, ngapain manjain aku.” Terlepas dari segala kesalahan yang orang tuanya lakukan, ia masih punya kesempatan untuk melakukan perbaikan. Begitu yang saya maksud. Afwan mas Freud, antum engga berhasil bikin ane atheis. Hehe… Bersyukur ane masih memiliki agama, dan agama itu adalah islam. Alhamdulillah….
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI