Mohon tunggu...
Pratama Andreas
Pratama Andreas Mohon Tunggu... -

Mid '90s

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangsa Indonesia, Bangsa Lupa Budaya

4 Juni 2014   08:25 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:26 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Demi membunuh rasa bosan di dalam kereta ekonomi Yogyakarta – Jakarta, penulis menyempatkan diri untuk membeli koran Tribun Yogya. Di dalamnya, penulis menemukan sebuah artikel yang cukup menggelitik nasionalisme. Artikel tersebut melaporkan bahwa bahasa Jawa memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu mata pelajaran wajib di daerah Malaka, Malaysia. Pasalnya menurut Menteri Pendidikan Negara Bagian Malaka Datuk Wira Haji MD Yunos bin Husin, bahasa Jawa telah menjadi bahasa sehari-hari di negara bagian Malaysia tersebut.

Namun sayangnya, bahasa Jawa pun lama-kelamaan ditinggalkan oleh para generasi muda, karena mereka lebih memilih untuk menggunakan bahasa Melayu. “Bahasa Jawa itu perlu diregenerasi di wilayah kami, karena di wilayah kami banyak kesamaan dengan budaya Jawa, terutama Solo dan Jogja,” ucap Datuk Wira Haji MD Yunos bin Husin, dikutip dari Tribun Yogya, Selasa (27/5/2014).

Pernyataan dari salah satu petinggi negeri Jiran barusan tentu saja membuat kita sebagai orang Indonesia, khususnya orang-orang Jawa merasa bangga. Tak hanya mereka, penulis pun juga merasa sangat senang dan bahagia. Bayangkan saja, orang-orang Malaysia saja sampai bersemangat untuk belajar bahasa Jawa

Bahkan sang menteri pendidikan sampai menegaskan bahwa warga Malaka memiliki kedekatan psikologis dengan masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tetapi, rasa kebanggaan itu hanya bertahan sepersekian detik saja, karena penulis menyadari bahwa rasa bangga ini ternyata cuma keangkuhan semata yang pada akhirnya membuat kita terjerembap.

Rasa bangga atas kekayaan budaya yang ada di dalam diri kita masing-masing sejatinya hanyalah sebatas “rasa” saja. Kita tidak memiliki kesadaran untuk menjaga, merawat, bahkan melestarikannya. Kita justru lebih mengedepankan sebuah budaya lain yang justru telah mendarah-daging di dalam diri kita. Banyak budaya – khususnya  budaya dari negara Asia – yang telah diadopsi dan dipraktekkan oleh para generasi muda kita, tetapi budaya lokal… Rasanya hampir tidak ada.

Para anak muda kita justru terlihat beringas membela nasionalisme kala budaya kita “diusik” oleh pihak luar. Masih ingat kasus “pencurian” Batik yang dilakukan oleh Malaysia? Saat itu, seluruh elemen masyarakat seolah tersadar, bergerak maju, dan berteriak secara bersama-sama dengan meminjam ucapan Bung Karno, “Ganyang Malaysia!”.

Singkat cerita, Malaysia pun langsung mengurungkan niatnya untuk mengklaim Batik sebagai budaya dari negaranya. Masyarakat Indonesia pun beramai-ramai mengenakan pakaian berbahan batik untuk menunjukkan solidarisme tingkat tinggi dan rasa nasionalisme yang kental. Patut diakui bahwa kini anak-anak muda tak lagi menganggap kain batik sebagai kainnya orang-orang tua, karena di setiap acara pernikahan, tak sedikit mereka kaum remaja yang menggunakan kemeja dan terusan batik. Tetapi budaya Indonesia tak hanya sebatas batik saja.

Niat yang disampaikan oleh Datuk Wira Haji MD Yunos untuk menggalakkan pelajaran bahasa Jawa di Malaka adalah sebuah kebanggaan tersendiri, tetapi keinginan sang menteri justru penulis lihat sebagai tamparan keras bagi kita, bangsa Indonesia. Ketika masyarakat luar negeri tertarik untuk mempelajari budaya Indonesia secara lebih detil, kita justru tidak memiliki keinginan untuk bisa mendalami budaya kita. Namun andaikan (semoga saja tidak) Malaysia tiba-tiba mengklaim bahwa bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang berasal dari wilayah mereka, maka kita pun terbangun dari tidur panjang, lalu berlari tunggang-langgang, panik, dan kembali meneriakkan, “Malingsia!”. Setelah itu, barulah kita menciptakan tren baru, yaitu berbahasa Jawa di setiap kesempatan.

Budaya adalah identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Sayang kita lebih sering memilih untuk menanggalkannya dan lebih memilih untuk mengangkat budaya asing yang lebih “trendi”. Mudah-mudahan tidak untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun