Mohon tunggu...
The Balbalans
The Balbalans Mohon Tunggu... Freelancer - Sepakbola Akar Rumput

Created by The Poor, Stolen by The Rich

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pele, Argentina, dan Para Diktator

17 Desember 2024   13:57 Diperbarui: 17 Desember 2024   13:57 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah langit biru yang membentang tanpa batas, stadion-stadion penuh dengan sorakan dan lagu kemenangan. Tahun 1970, Brasil mengukir sejarah. Mereka tidak hanya memenangkan Piala Dunia di Meksiko; mereka memahkotai diri sebagai tim sepak bola terhebat sepanjang masa. Di sisi lain, tahun 1978, Argentina mengangkat trofi Piala Dunia di tanah mereka sendiri, menyulut euforia yang membakar di hati jutaan rakyatnya. Namun, di balik perayaan itu, ada bayang-bayang gelap yang menyelimuti kedua negara.

Brasil, 1970. Negara ini berada di bawah cengkeraman rezim militer yang represif. Junta militer Brasil tidak hanya mengendalikan politik dan kehidupan sehari-hari rakyatnya, tetapi juga memanfaatkan sepak bola sebagai alat propaganda. Tim nasional Brasil yang dipimpin oleh sang maestro Pele, dengan permainan indah yang memukau dunia, menjadi simbol kekuatan dan kebanggaan bangsa. Namun, kemenangan ini juga menjadi senjata politik. Pemerintah menggunakan keberhasilan tim untuk menutupi kebrutalan mereka, menciptakan ilusi harmoni di tengah represi.

Delapan tahun kemudian, cerita serupa terulang di Argentina. Di tengah teror yang melanda akibat "Perang Kotor", di mana ribuan orang menghilang tanpa jejak, junta militer Argentina melihat peluang emas di Piala Dunia 1978. Mereka menjadi tuan rumah turnamen, mengubah stadion menjadi panggung kebesaran nasionalisme. Saat tim Argentina mengalahkan Belanda di final dan pita ticker memenuhi udara stadion River Plate, rakyat bersorak dengan air mata haru. Namun, di balik layar, para penguasa menggunakan momen itu untuk memoles citra mereka di mata dunia, menyembunyikan kekejaman yang mereka lakukan terhadap rakyatnya.

Dalam film dokumenter yang menggali kisah ini, yang difilmkan langsung di Brasil dan Argentina, cerita yang lebih kelam terungkap. Para pemain, saksi mata, dan korban rezim militer berbicara tentang bagaimana sepak bola menjadi alat manipulasi. Apa yang terlihat seperti momen kemenangan olahraga ternyata penuh dengan paradoks: selebrasi di satu sisi, penderitaan di sisi lain. Sepak bola, olahraga yang menyatukan dunia, diubah menjadi alat propaganda oleh kekuasaan yang kejam.

Di akhir cerita, kita disuguhkan sebuah ironi: kemenangan di lapangan hijau adalah pelarian dari kenyataan pahit. Tetapi, bagi sebagian besar rakyat Brasil dan Argentina, kenangan itu tetap menjadi pengingat bahwa di balik setiap sorakan, ada cerita yang lebih gelap yang menunggu untuk diceritakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun