bola, olahraga yang biasanya menyuguhkan drama mendebarkan, kali ini berubah menjadi sebuah seni absurd ketika Paris Saint-Germain (PSG) berhadapan dengan Red Bull Salzburg di Red Bull Arena. Dalam laga keenam Liga Champions yang lebih terasa seperti iklan buruk untuk sepak bola, PSG berhasil menang 3-0, tetapi dengan sensasi yang lebih mirip pertunjukan teater absurd daripada pertandingan olahraga berkelas.
SepakDrama Monoton di Red Bull Arena
Di bawah arahan Luis Enrique, PSG tiba di Austria dengan beban berat. Mereka berada di posisi ke-25 klasemen sementara dan memerlukan keajaiban untuk lolos ke babak playoff. Untungnya, lawan mereka adalah Salzburg, tim yang lebih terlihat seperti eksperimen iklan minuman berenergi yang anti-sepak bola daripada klub yang kompetitif di level ini.
Pertandingan dimulai dengan tempo yang lamban, bak 90 menit permainan dengan dosis Diazepam. Namun, momen-momen kilauan kualitas tetap muncul, meski jarang. PSG berhasil memanfaatkan kelemahan Salzburg berkat penampilan luar biasa dari Achraf Hakimi dan Nuno Mendes, yang membuktikan bahwa mereka adalah pemain kelas dunia. Gol pertama datang dari Gonalo Ramos, sebuah penyelesaian yang sebenarnya hanya formalitas karena Salzburg benar-benar kebingungan menghadapi permainan PSG.
Salzburg: Tim atau Eksperimen?
Salzburg, meski punya nama besar di dunia sponsor, tampak seperti proyek gagal. Dengan pemain-pemain muda berusia 17-22 tahun yang lebih cocok untuk iklan TV daripada pertandingan sepak bola, Salzburg terlihat seperti kendaraan kapitalisme olahraga modern. Mereka adalah laboratorium talenta muda, tetapi di lapangan, mereka kehilangan pola, kekompakan, dan bahkan dasar-dasar permainan.
Para pemain Salzburg tampak seperti bintang-bintang dalam iklan minuman energi -- penuh semangat, tapi kosong secara strategi. Gerakan mereka cepat namun tanpa tujuan, ibarat percikan kembang api yang tak pernah menyala terang. Mungkin Salzburg perlu merekrut freestyler jalanan untuk setidaknya memberikan hiburan visual yang lebih menarik.
PSG: Mesin Mahal yang Masih Berkarat
PSG, di sisi lain, adalah cerita yang berbeda namun tetap membingungkan. Dengan gaya permainan yang lebih terstruktur namun menggoda tanpa penetrasi berarti, tim ini telah berubah dari tim penuh kilauan menjadi mesin yang berjalan lambat. Gol kedua dan ketiga dari Mendes dan Desire Doue hanya mempertegas dominasi PSG di pertandingan ini. Tetapi pertanyaan tetap menggantung: untuk apa semua ini?
Luis Enrique mungkin sudah membawa stabilitas dengan perpanjangan kontraknya hingga 2027, tetapi PSG tetap menjadi klub yang aneh -- penuh talenta, kaya raya, tapi tak pernah benar-benar mencapai potensi maksimalnya di panggung Eropa. Bahkan di level domestik, dominasi mereka lebih terasa seperti kewajiban daripada prestasi.
Antara Konsumerisme dan Sepak Bola