Petrus Ferdinandus Johannes Van Hooijdonk, atau yang lebih akrab disapa Pierre, punya kisah yang nggak cuma soal gol-gol keren, tapi juga tentang cinta yang nggak pernah pudar. Bayangin aja, pas umur 14 tahun, dia dilepas sama klub kesayangannya, NAC Breda, karena dianggap nggak cukup berbakat. Tapi Pierre nggak pernah nyerah! Dia tetap cinta banget sama klub itu, bahkan setelah dikecewain. Buktinya? Dia kembali ke Breda pada 1991, dan dalam waktu singkat, bawa tim ini promosi ke Eredivisie.
Awalnya sih, Pierre dimasukin ke posisi gelandang, tapi ternyata dia lebih cocok jadi penyerang. Di klub berikutnya, Roosendaal, Pierre ngebuktiin ketajamannya. Pada 1993, dia kembali ke Breda dan langsung bikin perbedaan. Bener deh, Pierre ini bukan pemain sembarangan. Menurut dia, jadi penyerang hebat itu bukan cuma soal bikin banyak gol, tapi juga tahu kapan dan gimana cara ngegolin yang paling tepat.
Dengan skill yang lengkap, dari sepakan jarak jauh sampai tendangan bebas yang super akurat, Pierre udah ngegolin 335 gol dalam 551 pertandingan, dan bikin namanya jadi top scorer di tujuh klub di lima negara. Jangan lupa juga, dia udah bikin 14 gol dari 46 caps bareng timnas Belanda.
Setelah sukses di Breda, Pierre melanjutkan petualangannya di Celtic FC. Awalnya, Celtic lagi struggling banget. Tapi Pierre nggak nunggu lama buat bawa tim ini keluar dari kubangan kekalahan. Dia ngegolin gol kemenangan di final Scottish Cup 1994/95, dan di musim berikutnya jadi top scorer  Scottish Premier League dengan 26 gol. Tapi, masalah muncul saat klub nggak menepati janji mereka. Alhasil, Pierre pun kecewa dan akhirnya memutuskan untuk pindah ke Nottingham Forest.
Di Nottingham, meskipun timnya terdegradasi, Pierre tetap setia dan ngegolin 34 gol di musim 1997/98, membawa mereka promosi lagi ke Premier League. Keputusan yang nggak sia-sia, karena dia akhirnya dipilih untuk main di Piala Dunia 1998 di Perancis.
Setelah berpetualang di banyak klub, dari Vitesse di Belanda sampai Benfica di Portugal, Pierre menemukan puncak kariernya di Feyenoord. Musim 2001/02, dia meraih segalanya: juara UEFA Cup, jadi top scorer, dan penghargaan Pemain Terbaik Belanda. Di Fenerbahce, meskipun usianya udah nggak muda, dia tetap juara Super Lig dua musim berturut-turut.
Pierre akhirnya pensiun di tahun 2007, tapi legacy-nya sebagai salah satu penyerang top sepanjang masa tetap hidup. Dari NAC Breda sampai Feyenoord, dia nggak cuma dikenal karena gol-golnya, tapi juga karena keteguhan hatinya yang nggak pernah pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H