Siang itu saya menghentikan mobil di pinggir jalan. Di dalamnya, saya dan istri berdebat mengenai kelanjutan sekolah anak semata wayang kami.
Jujur saja kami hampir putus asa mencari sekolah. Sudah sebulan lebih sejak anak kami lulus dari Taman Kanak-kanak, tetapi banyak sekolah yang menolak. Beragam alasan yang kami terima, alasan utama ialah tidak adanya fasilitas sekolah inklusi.
Memang anak kami adalah anak yang spesial, anak istimewa, anugerah terindah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Dia lahir dalam keadaan prematur (usia kandungan 6 bulan). Hingga sekarang dia masih harus melatih saraf motoriknya agar mampu berdiri dan berjalan mandiri.
Oke.. skip.. skip.. saya tidak mau membawa tulisan ini ke ranah yang terlalu personal, karena akan banyak bulir-bulir bening yang mengalir dari sang netra , hehe..
Kembali pada cerita mencari sekolah saja ya. Saya bersama istri sudah mendatangi lebih dari 10 sekolah. Hasilnya ada 1 sekolah swasta yang mempunyai program sekolah inklusi. Tapi yang jadi kendala, biayanya mahal banget men!Â
Uang pangkal masuk sekolah saja, kami harus menyiapkan uang 10juta. Belum termasuk SPP bulanan, seragam sekolah, buku pelajaran dan lain-lain.
Perdebatan kami mengerucut pada keinginan saya untuk, "Ya, sudahlah bayar saja yang penting anak sekolah"
Namun istri saya mempunyai pandangan yang berbeda, karena meskipun dengan biaya yang tidak sedikit, metode dan sistem belajar yang diterapkan di sekolah tersebut belum sesuai dengan apa yang kami harapkan. Dengan kondisi anak cerebral palsy, kami menginginkan adanya kelonggaran untuk turut mengawasi kegiatan belajarnya di sekolah.
Kesabaran istri saya membuahkan secercah titik terang. Fisioterapis anak saya mengenalkan kami dengan seorang psikolog yang kemudian memberikan informasi mengenai adanya fasilitas sekolah inklusi di beberapa Sekolah Dasar Negeri di kota Mojokerto.
Tanpa berpikir panjang, keesokan harinya saya langsung mendatangi sekolah tersebut dan mendapatkan sambutan hangat dari Kepala Sekolah dan beberapa guru disana. Mereka menjelaskan konsep belajar yang ternyata sesuai dengan keinginan kami.
Namun rintangan tak berhenti disitu. Saat saya hendak mendaftarkan, diketahui bahwa ada aturan kuota siswa inklusi maksimal 5 orang dalam satu angkatan. Dan waktu itu pendaftaran online telah mencapai kuotanya.