Mohon tunggu...
Theodora Rana Atmaja
Theodora Rana Atmaja Mohon Tunggu... -

I'm Thea. a dreamer a lover a photographer a leader a writer a journalist wanna be

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalisme Online yang Sombong

23 Maret 2011   03:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:32 1883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13008607141184223764

[caption id="attachment_97693" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Jurnalisme online datang di saat informasi menjadi kebutuhan bagi masyarkat. Masyarkat yang well informed akan menjadi masyarakat yang mengerti hak dan kewajibannya dengan baik (Sharma 1998). Implikasinya, negara menjadi maju. Negara maju adalah negara yang berisikan masyarakat yang mengerti bagaimana harus bertindak karena mereka tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dengan demikian, jurnalisme online berpotensi untuk membangun masyarakat. Konvensional Di tahun 1455, dunia merayakan kehadiran mesin cetak Gutenberg. Di tahun 1850 dunia merayakan kehadiran telegraf. Di tahun 1995, dunia merayakan kehadiran internet. 1455 sudah sangat lama, bahkan tak terbayangkan oleh kita bagaimana wajah peradaban di kala itu. 1850 sudah cukup lama, namun setidaknya peradaban di kala itu masih bisa kita lihat di televisi. 1995, baru 16 tahun yang lalu, baru seusia remaja yang mulai tumbuh jerawat di pipinya. Maka dari itu, euphoria perayaan kedatangan internet masih sangat terasa. Menjelang ulang tahunnya yang ke-17, internet semakin menunjukkan eksistensinya sebagai sosok brilliant dengan masa depan yang cerah. Media cetak yang menjadi saksi sejarah perang dunia perlahan kehilangan popularitasnya. Kelemahan dalam hal kecepatan berita dan terbatasnya ruang pemberitaan membuat media cetak perlahan ditinggalkan pembacanya. Kelambatan dalam memberitakan suatu isu menjadi salah satu kelemahan yang tidak bisa diingkari lagi. Secepat-cepatnya Kompas sampai di teras rumah kita, jauh lebih cepat media online. Masyarakat konvensional yang gemar membolak - balik halaman surat kabar sambil menghirup aroma kertas dan tinta perlahan akan hilang dimakan usia. Mereka yang dimakan usia digantikan dengan generasi muda yang lebih menyukai media baru yang lebih "membumi". Di sisi lain, dari sisi lingkungan hidup. Media cetak menghabiskan sumber daya alam dalam hal pemborosan kertas. Tidak hanya kertas tetapi juga tenaga listrik yang tidak abadi. Sejak dari meja redaksi sampai ke percetakkan membutuhkan listrik dan kertas. Sedangkan jurnalisme online hanya memerlukan sedikit sumber daya, namun bisa lebih cepat. Media penyiaran juga terancam eksistensinya. Dari sisi kecepatan dan kepraktisan, jurnalisme online tentunya lebih unggul dibanding dengan jurnalisme penyiaran. Untuk sebuah liputan, jurnalisme online dapat dilakukan hanya dengan satu wartawan saja. Berbeda dengan jurnalisme online, media siar baik radio maupun televisi, memerlukan crew yang minimal terdiri dari dua orang. Di mana pun, manusia membawa telepon genggamnya, bahkan di kamar mandi. Sedangkan tidak di segala tempat kita menonton tv, mendengarkan radio dan membaca koran. Bermain telepon genggam untuk mengakses informasi bahkan dapat dilakukan saat dosen sedang mengajar atau rapat. Saat kuliah atau rapat, kita tidak mungkin menonton tv untuk mengakses informasi. Super Power Internet. Sebagaimana komunikasi berkembang sejak ditemukannya mesin cetak dan telepon, komunikasi juga berkembang dengan lebih pesat karena kehadiran internet. Internet membantu kita melihat apa yang tak terlihat dan menceritakkannya untuk kita. Hanya di Amerika saja, pengguna internet sudah mencapai 250 juta jiwa (Foust 2009). Foust juga menyatakan: Jurnalisme online juga mempengaruhi berkembangan internet. Internet menjadi kebutuhan bagi masyarakat yang membutuhkan informasi dengan cepat. Pew Research Center for the People and The Press di tahun 2009 menyatakan bahwa 3 dari 4 orang adalah konsumen media online (2009:1). Indonesia, sebagai negara tertinggi kedua yang menggunakan Blackberry smart phone juga menjadikan Indonesia negara yang potensial mengakses media online. Potensi pasar ini tentunya dilihat sebagai peluang emas bagi munculnya media online. Para pemilik modal berlomba-lomba untuk "menjual berita" kepada masyarakat. Selain potensi pasar yang membuka peluang lebar bagi berkembangan jurnalisme online, jurnalisme online sendiri memiliki banyak kelebihan dibanding media konvensional lainnya. Di dalam jurnalisme online, kekhasan media cetak dan media siar dapat terakomodasi dengan baik, bahkan sangat baik. Media cetak memiliki kekuatan pada gambar dan tulisan yang diseleksi ketat dan melalui proses penonjolan. Mana yang paling menarik dan menjual yang akan ditonjolkan. Foto yang bagus dan ukuran tulisan yang besar menjadi "menu utama" hari ini. Media online pun bisa melakukannya. Dengan foto yang baik disertai dengan berita yang singkat, padat dan jelas. Media cetak mengekalkan berita yang ditulisnya. Dalam artian, apa yang ditulis di media cetak dapat dibaca berulang kali sesuai keinginan kita. Sedangkan media siar tidak memilikinya. Ketika si tampan Timothy Marbun di Metro TV membacakan berita dan kita kurang mengerti apa maksudnya, kita tidak mungkin bertanya padanya, "Timmy, apa maksudmu?" Di media cetak, ketika kita tidak mengerti, kita dapat membacanya ulang. Dalam hal ini nampaknya media cetak masih dapat dipertahankan. Ironisnya, kemampuan kita untuk menyimpan media cetak per edisinya di rumah kita juga terbatas. Ketika rumah kita menjadi penuh, kita akan menjual kembali media cetak kita atau memakainya sebagai alas untuk anjing kita buang air. Media online, bersedia menyimpan setiap berita yang kita sukai di dalam server mereka. Kita tidak perlu membantu merapikan ataupun membuat rumah kita menjadi penuh. Bicara mengenai demokrasi. Demokrasi dan media. Demokrasi dan kebebasan berpendapat. Entah di Suara Anda atau di Editorial Media Indonesia di Metro TV, Fessy Alwi ataupun Andini Effendi akan menyuruh kita diam ketika kita sebagai penelepon bicara terlalu banyak dan melebihi waktu yang diberikan. Kompas, hanya memberikan 2 halaman dari 35 total halaman yang dimilikinya untuk ruang editorial. Tulisan kita diseleksi oleh redaksi yang berwenang. Apabila tulisan kita membahayakan media tersebut, jangan harap kita dapat bersuara. Masyarakat dikekang. Diperlakukan seperti kuda yang dikekang lalu diarahkan kemana harus melangkah, sesuai dengan yang media inginkan. Masyarakat yang tidak melek media tentunya akan menjadi kuda kekang media. Tsunami informasi yang menghanyutkan akan menjadikan kita kuda yang dikekang dan dikendalikan banyak kusir. Ironis. Sungguh ironis. Media online, membebaskan masyarakat. Masyarakat dipersilahkan berpendapat sepuasnya. Tidak harus diseleksi oleh redaksi ataupun disuruh diam oleh anchor. Berpendapat sepuasnya dalam ruang yang tidak terbatas. Di saat media konvensional mengekang, media online memberi kebebebasan. Sombong Kemampuan super power yang dimiliki media online memungkinkan terjadinya dua hal. Pertama, apabila media online menjadi sombong karena kuasa yang dimilikinya sehingga lupa diri, media online akan menjadi hamba kecepatan. Hamba kecepatan yang mengabdi pada "yang pertama". Yang pertama memberitakan ialah pemenangnya. Tanpa menghiraukan ketepatan, jurnalisme online mengejar kecepatan dengan dalih memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, apabila jurnalisme online mampu mengelola kemampuan super power yang dimilikinya, ia akan membangun masyarakat menjadi masyarakat yang mengerti hak dan kewajibannya. Masyarakat akan menjadi mampu menempatkan diri dengan baik, sehingga terciptalah Indonesia sejahtera. Seperti kata Andreas Harsono, "Jurnalisme bermutu, masyarakat bermutu. Jurnalisme tidak bermutu, masyarakat tidak bermutu." (tepat 1000 kata tanpa judul) Referensi Harsono, Andreas. 2010. Agama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Kanisius Media. C. Foust, James. 2009. Online Journalism. Principles and Practices of News for the Web. Arizona: Holcomb Hathaway. Allan, Stuart. 2009. Online News. New York: McGraw Hill Education.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun