Mohon tunggu...
Faridhian Anshari
Faridhian Anshari Mohon Tunggu... -

Seorang spectator sedari kecil yang "kebetulan" menjadikan sepakbola sebagai teman dan ramuan dalam eksperimen ajaibnya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Patrick Cutrone, Dosa Termanis Vicenzo Montella

28 Februari 2018   17:04 Diperbarui: 28 Februari 2018   17:10 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir seluruh media mengulas siapa itu Patrick Cutrone. Seluruh selak beluknya sebagai pemuda 20 tahun asal Como, Italia ini mulai terkuak untuk publik. Baru-baru ini media ternama Italia, membongkar betapa "beruntungnya" Inter Milan melepas Cutrone ke tetangga sebelah. Belum reda soal penyelasan I Nerrazurri, lagi-lagi terkuak rahasia kalau pada awal musim Vicenzo Montella nyaris "membuang" Cutrone ke klub Cotrone yang saat in ada di dasar klansemen Seri A Liga Italia. Semua perjudian mengenai "hal nyaris" tersebut terbayar apik, dengan performa Cutrone saat ini, yang akhirnya kerap dibanding-bandingkan dengan seniornya, Filippo Inzaghi.

Berawal dari kerelaan dirinya yang menjadi pilihan ketiga setelah Nicola Kalinic dan Andre Silva, Cutrone menjelma menjadi kartu As yang menjadi pembeda dan kunci dari permainan AC Milan yang mulai tidak terbaca oleh tim lawan, khususnya di Seri A. Duet Kalinic dan Andre Silva yang dilabeli 70 juta euro, jelas menjadi beban tersendiri untuk mereka. 

Selain itu, khususnya untuk Kalinic, hampir seluruh peserta Seri A sudah pernah berhadapan dengannya ketika membela Fiorentina, jadi sudah tau "titik kelemahan" pemain asal Kroasia. Sebenarnya, Kalinic bukanlah striker yang dilabeli "super" maupun masuk jajaran papan atas. Rekor goalnya juga tidak mengkilap-kilap amat, namun Kalinic adalah panic buying AC Milan diakhir bursa transfer, yang "merasa" Kalinic selevel dengan Karim Benzema yang menjadi incaran utama Vicenzo Montella saat itu. 

Beda lagi dengan Kalinic, yang sudah terbaca cara "bertempurnya" di liga Italia, nama Andre Silva sebenarnya maish awam dan berpotensi untuk menjadi ledakan hebat AC Milan layaknya dulu mendatangkan Andrei Shevchenko diawal milenium. Berbekal gelar juara euro 2016 bersama Portugal, nama Ande Silva sebenarnya kalah mengkilap dibandingkan Christiano Ronaldo, Renato Sanches, hingga Andre Gomes selama pagelaran empat tahunan di Eropa tersebut berlangsung. Namun entah angin apa yang membuat AC Milan ingin membelinya.

Lucunya, justru Andre Silva-lah yang dianggap lebih tepat sebagai "the next Inzaghi" karena permainannya yang hanya berada di sepertiga lapangan, tepatnya hanya berputar-putar disekitaran area kotak penalti lawan. Namun, lambat laun, permainan Andre Silva mulai berubah sesuai dengan strategi dan penempatan posisi yang dikehendaki oleh Montella pada awal musim. Mari kita membayangkan seorang pemain yang di DNA nya mengalir tipe attacking Inzaghi, diharuskan dan ditempatkan diarea sayap. Saya yakin segila-gilanya pelatih Pippo Inzaghi jaman dulu, tidak ada yang berani menggeser posisi Inzaghi sebagai striker Oportunis di area penalti lawan.

Nasi sudah menjadi bubur, Montella sudah kadung melucuti dan melecehkan DNA Inzaghi dalam diri Andre Silva. Permainan Andre Silva mulai berubah menjadi striker yang berani menendang bola dari luar kotak penalti. Bukan Inzaghi banget kan? Nah, dikala Andre SIlva mulai "hilang arah" munculah pemuda "supersub" yang menjadi senjata pembeda, yakni Patrick Cutrone. Jujur saja Cutrone berkembang karena kesalahan taktik Montella dalam mengoptimalkan Kalinic dan Andre Silva. 

Fenomena cutrone yang perlahan-lahan mulai rajin mencetak goal mengingatkan penggemar Rossonerri dengan Pippo Inzaghi yang diawal kedatangannya di musim 2001/2002 juga hanya sebagai pelapis Shevcenko dan The Spanishman, Javi Moreno. Kala Moreno gagal menunjukan kehebatannya kala dulu membela Alaves di UEFA Cup, Inzaghi mulai muncul sebagai predator dengan gaya yang berbeda dibandingkan Sheva, maupun Moreno.

Fenomena Curone yang sudah mencetak 13 goal dari 30 penampilannya di musim ini, mengingatkan media dan publik pada Stephan El Shaarawy yang berjuang sendirian mengangkat AC Milan selama musim 2011/2012. Jumlah goalnya juga tidak kalah beda, namun perbedaannya adalah saat itu, DNA Liga Champions masih mengalir dalam darah pemain AC Milan yang masih dihuni beberapa pemain senior. Dan yang membuat lebih berbeda adalah kehadiran Max Alegri, yang jarang menerapkan taktik salah layaknya Montella.

Kalau kita boleh jujur, walau Vicenzo Montella hanya "sebentar" menangani AC Milan, namun beberapa pemikiran luar biasanya masih diawetkan oleh Gennaro Gatusso saat ini, dan menjadi fondasi tim saat ini. Ingat, Montella lah yang ngoto meminta kepad Galianni untuk membeli 11 pemian baru dengan lebel yang berbeda-beda. Kalau bukan karena Montella, mustahil kita melihat seorang Leo Bonuci yang menjadi kapten tim. mustahil juga kita melihat seorang Frank Kessie, yang diminati oleh hampir seluruh tim besar Eropa mau mengisi lini tengah Rossonerri bersama Lucas Biglia. Namun diantara semua dosa-dosa Montella, yang membobardir neraca keuangan klub, justru Montella memunculkan satu dosa termanisnya, dalam diri Patrick Cutrone. 

Untung saja waktu itu, Montella menentang kepindahan Cutrone ke klub Cotrone. Andaikan hari itu Montella mengizinkan, meranalah AC Milan hari ini. Tidak ada kartu As, dan ruang ganti pasti akan dipenuhi oleh auman dan teriakan marah dari Gatusso. Thanks Senor Il Aeroplane.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun