Sebenarnya tulisan ini berangkat dari rasa sebal saya jika selalu mengingat momen kegagalan timnas kita 8 tahun yang lalu. Ada yang masih ingat ajang apa? Kalau ingatan anda kuat, jawabanya adalah AFF Cup. Disingkirkan musuh bebuyutan seteru abadi, Malaysia dipartai puncak menancapkan luka yang terlalu mendalam untuk saya dan sebagian orang hingga saat ini.Â
Bahkan rasa sakitnya melebihi kesedihan saya kala melihat muka David Luiz yang remuk dihajar 7-1 oleh Miroslav Klose di seminfinal Piala Dunia 2014. Jika anda ingat, kala itu 8 tahun lalu seluruh bangsa Indonesia sedang semangat-semangatnya mendukung timnas. Orang yang menggunkaan jersey timnas hampir ada disetiap sudut gang dan jalan raya besar. Mereka tidak malu, bahkan bangga berlipat-lipat jika menggunakan jersey warna merah atau putih hijau. Namun apa yang terjadi? PSSI kala itu merusak bangsa kita ketika sedang suka-sukanya dengan sepakbola timnas.
Memang agak aneh jika kita mengkambinghitamkan PSSI (lagi dan lagi), namun itulah faktanya. Kesalahan terbesar PSSI saat itu adalah mengajak seluruh pemian timnas untuk menemui tokoh-tokoh politik Indonesia untuk hanya berbasa-basi atau sekedar senyum manis berbicara tanpa arah. Niatnya adalah agar para politisi tersebut terlihat "suka" dan ramah terhadap sepakbola.Â
Alasan kelelalahan yang menghantui timnas akan jadwal yang padat, malah dibebani dengan acara ramah tamah yang tiada henti. Berpindah dari rumah dikawasan megah menuju hotel mewah lainnya, hanya untuk berjabat tangan dan makan enak. Sebenarnya kala itu (saya tau dari cuitan salah satu angota timnas di sosial media) keinginan dari personel timnas adalah tidur nyenyak dikasur empuk, agar esok hari fit latihan dan bertanding. Kenyataannya? Mereka malah harus duduk dikursi empuk berjam-jam untuk sekedar pasang tampang mendengarkan dan menampilkan sekilas senyum.
Sepakbola memang tidak dan belum bisa lepas dari politik. Sepakbola selalu dijadikan alat atau kendaraan politikus untuk meraih suara dan kekuasaan. Pertanyaan besarnya adalah "kenapa sepakbola?" Jawabnnya jelas, karena sepakbola adalah olahraga pertama dan terbesar yang digandrungi oleh masyarakat (Indonesia khususnya).Â
Jika berbicara level dunia, contoh ketika sepakbola menjadi kendaraan politik adalah di Italia pada piala dunia 1934 lewat Mussolini, dan Argentina ditahun 1978 lewat Jorge Rafael Videla. Bahkan yang terbaru, ketika Catalan dinyatakan merdeka dan timbul desakan timnas Spanyol dianggap harus "membuang" pemain-pemain asal Catalan, turut membuktikan kalau speakbola dan politik adalah teman yang saling bersimbiosis untuk meraih keuntungan bersama-sama.
Di Indonesia sendiri, sepakbola sudah erat kaitannya dengan dunia poltik. PSSI sendiri dibentuk pada tahun 1930 sangat kental dengan unsur politik. Dimana tujuan utama pembuatan PSSI yang menggunakan sepakbola agar warga pribumi Indonesia agar dapat bermain bersama, dengan tidak harus melebur dengan pihak Belanda. Unsur politik yang semakin memanas ketika pada tahun 1938, Hindia Belanda nekat memberangkatkan tim nasional ke Piala Dunia, yang notabene pemainnya ada yang berdarah Indonesia namun diwajibkan untuk menggunakan seragam dan mencium bendera Hindia Belanda. PSSI dikadalin oleh Hindia Belanda yang menang telak secara strategi politik.
Makin kesini, dikala unsur demokrasi makin terbuka deras arusnya. Politik juga semakin gencar mewarnai ranah sepakbola. Kali ini lewat janji manis para politikus dalam memenangkan hati pemilihnya. Contoh paling mutakhir adalah dalam pilkada DKI 2017. Semua calon selalu menggunakan sepakbola (baik itu dalam kemasan klub Persija maupun stadion) sebagai salah satu janji manisnya.Â
Yang menjadi sorotan adalah, pasangan terpilih Anies -- Sandi malah dengan lantang ingin menyulap dan menciptakan lapangan untuk Persija yang berkelas layakanya Old Traffold (milik Manchaster united) yang berfusion dengan Allianz Arena-nya Bayern Munich. Hebat? Kalau menurut saya Nekat!.
Mundur sedikit kebelakang, kita dapat menangkap momen ketika ridwan Kamil maju mencalonkan diri sebagai walikota Bandung, tepatnya pada 2 mei 2013 dilapangan Cibaduyut. Gerakan 1000 bola cinta untuk Bandung juara, turut mengantarkan Ridwan Kamil menjadi orang nomor satu di Bandung hingga hari ini.Â
Janji manis yang disusung adalah Persib Bandung akan juara dan dibumbui oleh unsur banyakanya pemain lokal yang akan merumput di Persib. Selain itu, niatan untuk membangun proyek "satu kelurahan satu lapangan bola" menjadi bumbu penyedap dalam janji manis RK kala itu. Kenyataannya hingga saat ini, Persib memang berhasil juara, namun tidak dengan bumbu pemian lokal saja. Nama seperti Makan Kanote menjadi dinamo tersendiri untuk Persib yang mencicipi juara Liga Indonesia pada tahun 2014. Proyek satu keluarahan satu lapangan bola? Hingga saat ini sudah tidak tercium dan terekpos lagi oleh media.