Mohon tunggu...
Ahimsa Murfi
Ahimsa Murfi Mohon Tunggu... Dosen - dosen/Politeknik Negeri Malang

vi veri veniversum vivus vici

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Berpuasa?

19 Juni 2018   08:00 Diperbarui: 19 Juni 2018   09:05 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan aku banyak membaca soal keikhlasan dan kaitannya dengan rutinitas puasa wajib selama sebulan, sekali dalam setahun. Banyak hal menarik yang aku temui, banyak juga pandangan para ulama yang mencerahkan, dan begitu membekas di kedalaman hatiku.

Berpuasa yang sejatinya adalah demi kebaikan fisik yang kita pinjam selagi kita di dunia ini, Allah klaim sebagai ibadah yang "hanya untukku". Kata-kataNya seolah Ia perlu untuk kita berpuasa, hanya demi bukti bahwa kita mencintai Dia Yang Maha Pencipta lebih dari kita mencintai dunia. Sebelum berani berpikir seperti demikian, tanyakan pada diri sendiri siapa kita sampai Tuhan membutuhkan sesuatu dari kita.

Sungguh agama ini hanya memiliki arti bagi mereka yang berpikir. Layaknya diplomasi yang dilakukan Tuhan kepada hamba-hambaNya, Ia rela membuat pernyataan seolah-olah Ia membutuhkan sesuatu dari kita. Sungguh ini mengingatkanku kepada cinta orang tua kepada anak-anaknya. Mereka membuat peraturan ini dan itu, dan kemudian rela dibenci dan dimaki oleh yang mereka cintai, anak-anaknya sendiri.

Padahal tak satupun dari apa yang mereka lakukan dan apa yang tidak mereka lakukan itu untuk kebaikan mereka pribadi, melainkan untuk kebaikan anak-anak yang mereka cintai. Apalah alasan yang lebih bisa diterima selain keikhlasan yang mengizinkan hati mereka begitu rela diperlakukan seperti demikian?

Orang tua itu berpuasa, begitupun dengan Allah. Berpuasa menahan apa yang sesungguhnya bisa mereka lakukan, namun dengan pertimbangan ini dan itu memilih untuk tidak melakukannya. Banyak alasan untuk orang tua menghardik kita, namun tak mereka lakukan. Begitu berlimpah dosa kita di hadapan Tuhan, yang seringkali kita lakukan dengan kebanggaan hati, namun Ia pun menahan diri untuk tidak menurunkan laknatNya kepada kita sesegera mungkin.

Kalau sudah memahami makna puasa, sesungguhnya puasa yang wajib itu jauh dari kata sulit untuk dilakukan. Aku mengalaminya sendiri. Ketika puasa aku niatkan semata untuk Allah, dan dengan segala kerendahan hati aku mengakui puasa ini adalah cara untukku kembali ke fitrahku sebagai manusia yang selalu membutuhkan Allah, tenang dan damai aku rasakan dalam hati.

Fitrah kita sebagai manusia, tak lebih dari hidup untuk kembali kepadaNya. Dan dengan berpuasa, aku membangun jembatan untuk selalu kembali kepadaNya. Ini bukan sekedar soal menahan makan dan minum, namun juga menahan maksiat. Mencukupkan diri dengan apa yang layak diterima, dan tidak berlebihan mengambil apa-apa saja yang menyenangkan, serakah, lalu jauh dari Tuhan, Karena fitrah kita hidup di dunia ini bukan untuk berbuat maksiat. Hati yang meronta tiap kita melakukan dosa itulah buktinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun