Sebelum mengajar di sebuah Politeknik Negeri, saya sempat mengajar beberapa siswi SD selama 6 bulan. Meskipun saya sangat menikmati mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak, kegiatan pengajaran tersebut harus berhenti sebelum akhirnya saya sibuk dengan tesis S-2.Â
Cukup banyak yang terjadi selama kurun waktu tersebut, namun ada satu kejadian yang sangat saya ingat hingga saat ini. Â Sore itu saya mengajar seperti biasa, hingga seorang siswi menghampiri saya dengan kesedihan di matanya. Penasaran dengan apa yang terjadi, saya menanyakan apa yang terjadi:Â
saya: Ria, ada apa? (sambil tersenyum)
siswi: Ibu, aku ini tidak bisa apa-apa ya, Bu?
saya: Siapa yang bilang seperti itu, nak?
siswi: Ya abisnya aku salah terus. Mama juga marah-marah kemarin. Kenapa Ria gak seperti temen-temen Ria yang lain ya, Bu? Mereka lo bisa. Â
terdiam mendengar apa yang ia ucapkan, saya hanya memandanganya penuh perhatian. Tak lama kemudian, tangisannya pecah sesenggukan. Sambil mengelus punggungnya, saya menyebut namanya beberapa kali dengan lembut. Hingga tangisannya reda, saya tak berkomentar apapun.
saya: Ria, coba bilang ke ibu, Ria tahu kalau ibu sayang sama Ria?
siswi: Iya, Bu.
saya: Kalau ibu bilang Ria itu bisa dan pintar, Ria percaya?
siswi: hmmmmm
saya: Ibu kan ada di sini. Ibu ajarin Ria kalau Ria belum bisa. Ibu percaya sama Ria, jadi kenapa Ria tidak percaya dengan ibu?Â
tersenyum untuk yang kesekian kali, saya sedih melihatnya seperti itu. Dan akhirnya, hanya pelukan yang bisa saya berikan untuk meredakan kegelisahannya.
Saya sendiri tidak pernah merasa bahwa anak-anak didik saya harus bisa saat itu juga. Tangisan mereka sama seperti senyum dan tawa mereka, tak perlu mereka sembunyikan. Saya tahu benar anak-anak yang masih jujur ini jauh lebih berani menjadi dirinya sendiri, ketimbang orang-orang dewasa yang entah telah sekian lama terlatih untuk menyembunyikan emosinya. Saya mencintai kejujuran mereka. Saya mencintai tiap proses belajar mereka, sekalipun itu dengan tangisan. Mereka berhak untuk merasakan tiap rasa yang dia rasakan, dan saya merasa terhormat pernah menjadi bagian dalam perkembangan mereka.
Saya adalah orang yang masih percaya cinta. Walau sesaat, kalau dengan cinta, saya rasa sesedikit apapun yang saya ajarkan akan selalu terkenang. Saya mengalami sendiri ketika tidak satupun orang yang percaya bahwa saya bisa. Rasanya seperti tidak ada jalan keluar. Saat itu sebagai anak-anak saya merasa bahwa saya akan selamanya seperti itu: bodoh.
Hingga suatu ketika ada seorang guru, beliau bilang kepada saya bahwa saya ini pintar. Kau tahu? Awalnya sulit untuk mempercayai satu orang, ketika semua orang memperlakukan saya seperti orang bodoh, tapi hingga suatu saat saya percaya bahwa saya memang bisa. Dan itulah yang membuat perbedaan. Satu sosok saja yang menyayangi dan percaya bisa membuat perbedaan besar dalam hidup saya. Beliau tidak hanya mengajarkan Bahasa Inggris kepada saya. Beliau memberi lebih dari yang bisa saya harapkan. Beliau menunjukkan bagaimana mempercayai diri saya sendiri, sekalipun yang lain tidak.
Untuk Ria, semoga kau selalu percaya kepada kemampuan dirimu sendiri. Semoga tak pernah kau izinkan orang lain memberikan deskripsi buruk akan dirimu. Hanya kau yang berhak mendeskripsikan siapa dirimu. Namun jika masih sulit bagimu, kau selalu tahu bahwa kedua orang tuamu mencintaimu, ibu menyayangimu dan kau selalu berhak untuk menjadi dirimu sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H