Mohon tunggu...
Herman Wahyudi
Herman Wahyudi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga\r\nOrganisasi: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-Yogyakarta)\r\nMulai menulis sejak: 2009\r\nMinat: Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

RUUK DIY dan Kesatuan Nasional

16 Desember 2010   02:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlalu lama diacuhkan, masalah RUUK Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak henti-hentinya menjadi head line perbincangan massa. Terlebih menyusul polemik seputar keistimewaan DIY, yang berhembus dari pernyataan SBY tentang tidak mungkinnya sistem monarki (Kesultanan Yogyakarta) kedalam demokrasi (Indonesia). Seperti apapun maksud atau makna monarki menurut pandangan Presiden kita, yang jelas, pernyataan tersebut telah memberikan segores luka bagi masyarakat DIY.

Polemik Keistimewaan Yogyakarta

Dalam polemik yang terus merumit, berbicara keistimewaan Yogyakarta tentu tidak hanya terbatas pada mempersoal keistimewaan belaka. Melainkan (pun) membincang soal bagaimana integrasi sistem Daerah khusus/istimewa kedalam Undang-Undang demokrasi, sebagaimana integrasi monarki kesultanan Yogyakarta kedalam Kesatuan Nasional Negara Republik Indonesia pada masa awal kemerdekan RI. Dengan kata lain, polemik tentang keistimewaan Yogyakarta memiliki mata rantai persoalan yang sensitiv akan nilai-nilai sejarah, kebudayaan, kearifan lokal, dan sebagainya -sejauh menyangkut masalah ke-daerah-an.

Monarki yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seperti tercermin dalam amanat 5 september 1945, dimana Sri Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan sebutan amanat 5 September 1945, kemudian disusul oleh dikeluarkannya teks amanah yang sama oleh Sri Paduka PA VIII. Dekrit tersebut mengamanatkan integrasi monarki Yogyakarta kedalam Republik Indonesia. Kewewenangan Sultan HB X dan Sri Paduka PA VIII tidak terlepas dari sejarah DIY itu sendiri yang merupakan warisan kerajaan dari zaman pra kemerdekaan. Dan pada akhirnya berkonsekuensikan hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah (negaranya) sendiri -di bawah pengawasan pemerintah penjajahan. Artinya, ke-monarkian Yogyakarta hanya sejarah masa lampau. Tidak relevan bila dalam konteks saat ini eksistensi dan kedudukan Kesultanan bersama Pakualaman disebut sebagai monarki. Karna kedudukan keduanya, merupakan kehendak demokratis -dalam pemaknaan kontekstual- masyarakat DIY.

Secara subyektif, jelas penulis menyesali statemen yang dikeluarkan oleh presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) beberapa waktu lalu yang menuai banyak konroversi (baca; pernyataan SBY tentang Monarki Yogyakarta). Sebagai pemimpin negara, harusnya SBY mampu menghindari hal-hal yang dapat memunculkan kontroversi. Mungkin, SBY memiliki interpretasi sendiri tentang makna monarki yang dimaksud. Akan tetapi tidak seharusnya ia membiarkan masyarakat DIY -dan Indonesia secara umum- justru tambah bergejolak dengan tidak adanya klarifikasi lebih lanjut pada pernyataan sikapnya yang kedua (kamis, 2/11) Ia justru berbicara lebih pada perihal subtansi RUUK, bahwa dirancangnya Undang-Undang keistimewaan Yogyakarta merupakan upaya untuk mengatur dan menaungi keistimewaan itu sendiri.

RUUK DIY atau Perpecahan?

Bertolak dari polemik diatas, Kita tahu bahwa RUU DIY sebenarnya telah lama menjadi wacana. Pada tahun 2002 pemerintah Propinsi DIY pernah mengajukan usul UU keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu Undang-Undang. Namun, usulan-usulan tersebut tidak lebih dari sebatas angin lalu belaka. Tidak ada tanggapan positif dari pemerintah untuk serius menanganinya. Alhasil, tentang kedudukan pemerintahan eksekutif di DIY hingga kini masih belum ada Undang-Undangnya.

Berbeda nasib dengan daerah-daerah istimewa lain seperti Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Propinsi Papua (dulu Irian Jaya/Irian Barat). Kedua Propinsi tersebut telah menerima otonomi khusus dari pemerintah. Di Daerah Istimewa Aceh telah diberlakukan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan di Propinsi Papua dengan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).

Jauh sebelum kedua daerah ini diberi UU khusus, kita bisa melihat bagaimana gejolak-gejolak yang timbul pada waktu itu. Tidak hanya pada tatanan kontroversi opini, melainkan gejolak fisik dengan pemerintah RI. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bisa dilihat sebagai contoh paling populer. Dari sini dapat kita ambil pelajaran bagaimana kekuatan daerah -yang bersumber pada sejarah, kultur, kearifan lokal dan sifat ke-daerah-an lain- sempat memberikan gertakan dan ancaman bagi kesatuan nasional. Terlepas hal tersebut mendapat dukungan dan intervensi internasional ataupun tidak.

Dalam konteks polemik keistimewaan yang kini bergejolak di DIY, nampaknya pemerintah harus memikirkan lebih dari sekedar soal finishing dan pengesahan RUU yang telah lama dinginkan oleh masyarakat DIY. Melainkan harus (pula) memikirkan hal-hal yang sifatnya subtansi dan sensitif ke-DIY-an. Yang perlu diingat bahwa Indonesia dilahirkan dan dibesarkan oleh sejarah. Dan DIY merupakan salah satu bagian dari sejarah itu. Kita tentu tidak menginginkan gara-gara DIY merasa dianak tirikan oleh sebab RUU yang belum rampung, masih ditambah dengan penetapan pasal-pasal yang sebenarnya tidak penting. Karna demikian itu akan melukai bagian sejarah bangsa, dan terlukanya bagian sejarah bangsa dapat berkibat fatal pada bergejolaknya bangsa.

Kesatuan nasional merupakan hal yang paling subtansi untuk difikir. Bagaimana sebaiknya RUU tentang keistmewaan Yogyakarta dikonsep, dibuat serta kemudian disahkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan (demi) terwujudnya kesatuan nasional NKRI. Bukan sebaliknya. Kita berharap para DPR benar-benar mempertimbangkan segala aspeknya. Semoga!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun